"Kasih tahu aku sekarang, kenapa kamu bisa senyebelin itu ke aku selain karena kamu mau manfaatin aku."
"Ha! Jawaban yang kamu mau sebenernya adalah; oh karena aku juga suka deket-deket sama Mas Datta, aku juga cinta sama Mas Datta. Blah blah blah. Betul?"
"Interupsi. It's not right to say 'deket-deket', Bima, kalau yang kita lakuin lebih dari deket-deket."
Sekarang dunia tahu, seharusnya sekarang. Karena aku sebenarnya ingin sekali memberi tahu langit dan isinya betapa laki-laki ini hidup di dalam puncak kejayaan dalam hal apa pun. Bukan perkara tentang nominal materi yang dia dan keluarga mungkin miliki, tapi bahkan untuk urusan emosi, dia merasa berhak mengatur emosi apa yang seharusnya menghampirinya. Mungkin kalau bisa, dia pun ingin hujan datang di waktu yang dia mau dan butuhkan.
Bukan karena keadaan alam atau kehendak Tuhan.
Tidakkah dia terlihat sangat arogan dan banyak menuntut Tuhan?
Aku jelas butuh banyak tenaga—aku ulangi, selain jumlah banyak untuk ukuran manusia normal, aku juga perlu tenaga tambahan untuk menghadapi manusia ini, kalau aku mau tetap hidup di jalan normal. Menggigit ukuran besar burger yang kupegang, aku mengunyahnya susah payah dan tak keberatan membiarkan Datta menunggu. Sebentar lagi. Tidak. Sedikit lebih lama, karena ternyata gigitan yang besar justru menyusahkanku sendiri. Ketika menelannya, roti empuk burger ini malah terasa seperti dipenuhi duri.
Lihat laki-laki yang kusebut-sebut arogan, tak pernah absen untuk menunjukkan sisi lain yang juga jadi salah satu bagian yang aku gila—secara sadar dan melamun, aku mungkin mengakui ini. Tubuhnya seolah sudah memiliki alarm khusus untuk merespon segala hal tentangku. Dia mencondongkan tubuh untuk menggeser cup minuman ke hadapanku. Oh my beautiful man, aku bukan tidak tahu sebesar apa perasaan yang dia investasikan padaku dan bukan tidak bersyukur memiliki itu.
Ini hanya ... terasa sangat rumit dan membuatku justru kadang membenci perasaannya.
"Kamu suka burger ternyata, uh?"
Aku balas menatapnya. "Oh I do love burgers, Mas Datta."
"What about a special sauce?"
"Aku lebih suka saos reguler." Aku mengernyitkan hidung, lalu tersenyum manis sebagai perempuan biasa, bukan senyum partai seperti yang biasa aku sebut dan lakukan. "Thanks, anyway."
Dia mengangguk-anggukkan kepala, lalu menggaruk keningnya dengan ibu jari. "Mau nambah?"
"Burger?"
"Ya. Atau yang kamu mau extend hotel?"
Aku tertawa, mengibaskan rambut ke belakang, juga merapikan rambut di bagian depan yang menempel pada kening. Salah satu hal yang tidak aku sukai ketika berada di dekat Datta dan mendengar kalimat-kalimat bernuansa kenikmatan yang bersifat naluri adalah efek yang terjadi pada diriku. Aku tidak sehebat itu, tidak sekuat itu menerimanya. Seringnya, aku juga tidak bisa menutupinya dengan baik.
Aku tahu dia tahu.
Kalau sedang baik hati, dia akan berpura-pura tidak paham—mungkin sesekali dia memang tidak paham, tapi hal ini jarang terjadi, aku berani bertaruh. Namun, lain halnya ketika kegelapan sedang memenuhi nyaris seluruh tubuhnya, maka dia akan seperti hari ini. Mana peduli kalau kami sekarang sedang berada di restoran makanan cepat saji dengan pergerakan manusia yang cepat juga keluar masuk untuk mengisi perut. Sudut bibirnya terangkat, tatapannya memancarkan rasa bangga dan kemenangan, lalu suaranya dia bulatkan sesempurna mungkin ketika dia bertanya, "You okay, Sayang?"
Aku tersenyum tipis tapi tidak terlihat keberatan, di bawah meja, aku menyilangkan kaki untuk menenangkan diri. "May I have yours?" Ketika melihat mulutnya terbuka tetapi dia tak mengatakan apa-apa, aku memberi kata tambahan. "Your drink."

KAMU SEDANG MEMBACA
beyond words
ChickLit[END] Ekstra Part di Karya Karsa Mungkin ada banyak kata sifat-dalam ribuan bahasa-untuk menjelaskan perasaan atau emosi, tapi terkadang kamu kebingungan, tak menemukan satu kata pun yang bisa mewakili. Atau ... kamu bisa menyebutnya; beyond words...