Judul-judul 35

2.3K 383 20
                                        

Aku ingin kembali lagi karena mendadak merasa mulas dan sesak napas. Semua itu muncul ketika Pak Damar memberitahu bahwa kami sudah akan sampai di perumahan Eyangnya Datta.

Aku memang pernah bertemu beberapa kali, tetapi itu di Jakarta. Aku belum pernah berkunjung ke sini. Jadi, rasanya benar-benar bercampur aduk saat mobil kami berhenti di depan sebuah rumah tanpa pagar. Halamannya lumayan luas, aku bisa ada satu mobil di sana dan aku tahu itu bukan mobil Datta. Rumah ini terlalu besar untuk ditinggali Eyang sendiri—aku tahu ini dari Pak Damar di perjalanan tadi, bahwa Eyang hanya tinggal sendirian dengan tiga orang yang mengurus kebutuhannya. Satu sopir, dua lainnya perempuan yang mengerjakan pekerjaan rumah dan kebutuhan pribadi Eyang.

"Mbak Bima mau turun sekarang?"

Mesin mobil sudah mati, tetapi sabuk pengamanku bahkan belum aku lepas, sementara Pak Damar sudah siap. Aku tersenyum, lalu mengangguk. Sebetulnya aku bisa saja bilang belum mau turun sekarang karena belum siap, mengajak Pak Damar untuk putar balik dan kembali ke Jakarta. Tetapi aku segera sadar, kalau tidak sekarang, aku mungkin akan kehilangan kesempatan satu-satunya.

Masalahnya, bagaimana aku memperkenalkan diri di depan Eyangnya Datta nanti? Sebagai siapa? Pacar Datta tetapi aku sendiri tidak yakin bagaimana pendapat Datta. Sebagai asisten pribadi Bapak, tetapi apa kepentinganku datang ke sini tanpa Bapak?

Aku mengabaikan semua kebimbangan di dalam diriku dan memilih untuk tetap membuka pintu mobil, lalu mengikuti Pak Damar memasuki area halaman rumah. Senyumku langsung terbit menghirup udara Bandung yang terasa jauh lebih segar, entah hanya sugesti atau benar demikian adanya. Mataku juga sembari mengelilingi halaman depan rumah ini, terasa sejuk dengan tumbuhan-tumbuhan dan beberapa ornamen yang terasa 'rumah Eyang', misal kursi di teras itu.

Kami menunggu beberapa detik di depan pintu setelah Pak Damar menekan bel, tak lama seorang perempuan muda muncul dengan senyuman ramah dan anggukan kepala. "Pak Damar, hayuk masuk."

"Makasih, Mbak Sinta, ini Mbak Bima. Tamunya Mas Datta."

Dia tersenyum dan mengangguk padaku. "Mari, Teh, masuk."

"Terima kasih, Mbak. Ini ada sedikit bingkisan."

"Terima kasih, ya," katanya. Kemudian dengan semangat membawa kami memasuki rumah, dipersilakan duduk di sofa, sementara dia pamit untuk memanggil Eyang.

Beberapa menit kemudian dia datang bersama Eyang yang berjalan dengan tongkat di tangannya. Senyumannya melebar, menatap Pak Damar dan aku bergantian. Apakah Beliau akan mengingatku sebagai karyawan Bapak? Tuhan, tolong bantu selamatkan aku. Pak Damar menyalami Eyang, aku pun melakukan hal yang sama setelahnya. Bedanya ... aku merasa bingung tetapi senang karena Eyang memelukku dan berbisik, "Selamat datang di Bandung, selamat datang di rumah Eyang yang sederhana."

Aku tidak tahu definisi dari sederhana versi keluarga ini. Mungkin rumah Eyang memang berbeda tipe dan gaya dengan rumah Bapak di Jakarta, tetapi aku tidak yakin ini bisa disebut sederhana atau nilai uang yang sederhana.

"Eyang, tadi Teh Bima, Mbak Bima bawain oleh-oleh, saya taruh di dapur."

Eyang mengangguk ada Mbak Sinta. "Tolong siapin makan malem buat mereka ya, Sin." Eyang menatapku. "Belum makan malam, kan? Tadi dari Jakarta jam berapa?"

"Ummm, habis jam kantor tadi, Eyang. Tapi lupa." Aku tertawa sambil menggelengkan kepala. "Tapi tadi udah sempet makan sama Pak Damar, Eyang, nggak usah disiapin buat makan lagi terima kasih."

"Yang bener ini?"

Aku mengangguk. "Maaf datengnya malem-malem."

"Nggak pa-pa. Bikinin minuman anget aja kalau gitu, Sin, buat Pak Damar sama Bima." Beliau bahkan tahu namaku?! "Datta juga boleh, nanti biar saya yang panggil dia."

beyond wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang