Judul-judul 32

2.3K 397 23
                                        

"Aku lagi bikin teh anget, kamu mau sesuatu? Green tea? Hot matcha latte?"

Senyumku tertahan di bibir, aku duduk memangku dagu di atas kitchen island table, memperhatikannya yang sedang berdiri di depan kabinet dan menatapku kebingungan. Bahkan dia menggeleng-gelengkan kepala pelat dengan mata yang berbicara seolah 'apaaaa?'.

Tapi aku masih diam, hingga akhirnya dia mendekat, membungkukkan tubuh dengan siku di atas meja, dan menatapku. "Aku tahu rasa cintamu ke aku malam ini luar biasa, tapi aku perlu kamu di realitas, so please, sadar, Bim!" Datta bahkan menjentikkan jari di depan wajahku.

Aku tak bisa menahan gelak tawa lagi. "Hot matcha latte, please."

"Good." Tubuhnya berbalik dan aku tidak tahu mana yang lebih dulu dia siapkan, karena itu tidak menarik. Yang menarik bagiku saat ini adalah memandangi tubuhnya dari belakang. Semuanya. Rambutnya, tengkuknya, punggungnya, bokong—ini bagian tubuh manusia yang normal dan bahkan wajib ada, tetapi menyebutnya seolah menjadi manusia buruk—, dan paha. Datta sudah berbalik dengan mug di tangan dan menghampiriku lagi. "Here's your hot matcha latte, my Queen."

"Thank you," jawabku dengan tersenyum geli. Sebelum menyesapnya, aku menghirup lebih dulu, ingin menunjukkan pada Datta aku sangat mengapresiasi apa yang dia beri dan lakukan. "Oh, this is too hot to drink."

"Bima?" Tatapannya terlihat kesal, entah untuk apa. Aku hanya tertawa. "Dipegang jangan body-nya, itu ada gagang kecil menurutmu fungsinya untuk apa, Sayang?"

Aku mengedikkan bahu. "Kayaknya sama aja."

"Sama aja?"

"Yes, karena yang bikin juga too hot to handle."

"Damn!" Datta mendongakkan kepala, kemudian terbahak-bahak. Sekarang dia kembali menatapku dengan sebelah tangan di perut. Dari wajahnya, terlihat kalau dia belum benar-benar selesai dengan tawa itu. Dia mendesah panjang. "Aku nggak tahu harus komplain atau kasih compliment atas pencapaianmu hari ini. That was super cringe, I'm sorry." Ekspresinya terlihat sangat merasa bersalah, tetapi kemudian dia terkekeh. "Tapi juga bikin ..."

"Bikin?"

"I don't know ... orang bilang tuh apa yang di perut?"

"Cacing pita?"

"Bima?"

Aku buru-buru meletakkan gelasku sebelum isinya tumpah karena terbahak-bahak. Melihat matanya melotot benar-benar kesal, aku jadi makin merasa ini lucu. "Ya apaaa? Di perut apa? Banyak, kan? Usus besar, lambung, jantung? Cacing pita juga ada for some cases, you know that."

"Konteks, Sayaaaaang," ucapnya panjang, terdengar sangat putus asa menghadapiku. Aku juga nyaris putus asa menghadapinya ketika otaknya benar-benar berada pada kemiringan maksimal. Jadi aku rasa impas. "Nggak ada hubungannya kamu abis muji aku HOT—" Dia memberi penekanan pada kata 'hot'. Tidak perlu sebenarnya. "—terus tiba-tiba ke cacing pita di perut."

"Fine, sorry, sorry. Jadi maksud kamu apa, Mas Datta?"

"You know what? Forget it." Dia mengitari meja dan mendekatiku, memutar tubuh dan kursiku menjadi menghadapnya. Dia berdiri menjulang di depan wajahku. "Mau aku bantu minum matcha latte-nya biar panasnya bisa kamu terima?"

"Kamu tiup?"

Kepalanya menggeleng. "Bukannya makanan dan minuman nggak boleh ditiup?"

"Terus idemu apa?"

"Mouth to mouth."

"Kamu pernah capek nggak, Ta?"

Keningnya berkerut. "Sama kamu?"

beyond wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang