Judul-judul 03

3.4K 613 23
                                    

"Soal artikel wawancara saya dengan media online itu, Bapak mau dibantu dibacakan atau mau coba lihat sendiri?"

Sembari menyiapkan makan siang hasil catering dengan label makanan sehat, aku mengingatkannya artikel yang sempat aku singgung. Ingat salah satu rumus bekerja dengan atasan secara langsung, karena ini pekerjaan bintang mega alias ... whatever, sebagai asisten pribadi, haram hukumnya mengeluarkan kalimat 'lho kemarin udah saya singgung atau saya ingetin, Pak'. Dia tidak peduli kemarin atau tahun lalu kamu sudah mengingatkannya, yang dia mau lihat tidak ada yang terlewat, entah bagaimana kamu mengaturnya.

"Media apa namanya, Bim?"

"Reread, Pak. dia basisnya online. Segmentasinya memang untuk anak muda, jadi bahasa yang mereka pakai bahasa sederhana, kekinian, dan kadang mungkin beberapa orang nggak paham."

"Beberapa orang itu maksudmu orang-orang tua seperti saya?" Bapak terkekeh geli, aku jadi merasa sedikit bersalah. Beliau lalu meminta artikel itu dengan melambaikan tangannya. "Coba mana."

Aku meraih tablet dari meja kerjaku, mencari file yang dikirim oleh tim Reread untuk final check, kemudian menyerahkan pada Bapak. "Banyak juga sih yang nggak setuju sama media ini, Pak, karena terkesan terlalu santai? Tapi mereka dapat tanggapan positif dari anak-anak muda yang memang butuh ini. Mau update berita, bahkan politik yang terkesan berat dengan bahasa yang mudah." Aku melihat Bapak mengangguk-anggukan kepala. Sesekali alisnya mengerut saat membaca artikel itu, lalu tawa pelannya juga terdengar.

Kalau melihatnya seperti ini ... kadang aku merasa dunia benar-benar panggung pentas. Megah dan isinya penuh dengan hiasan sana-sini. Kamu bisa saja orang yang sedang dalam kondisi berduka, tapi kamu akan berubah menjadi karakter paling memuakkan saat di pentas. Bagiku, melihat dunia Bapak pun sama. Termasuk rekan-rekannya. Mereka orang yang ramah, baik, dan peduli sebetulnya kalau kita bertemu dan ngobrol di luar lingkup politik.

Tapi ketika mereka naik panggung, semuanya menjadi berbeda. Perannya seolah ... selalu menjadi musuh masyarakat.

"Ini beneran nggak tau kasus sebelah atau cari aman ini, Bim?" Bapak tertawa, mengembalikkan tabletku dan menatapku seolah menunggu jawaban. "Soal Pak Hendrik."

"Oh." Aku tertawa pelan, menerima tablet itu dengan sopan, mendekapnya di dada. "Saya emang nggak terlalu kenal dengan Mbak Shella, kok, Pak. Beberapa kali ketemu di lift, pernah di pujasera, sama ... waktu rapat. Jadi, saya merasa nggak berhak untuk kasih komentar kasus itu."

Bapak menganggukkan kepala. "Pilihan yang bijak. Artikelnya bagus, positif, dan jawabanmu aman. Bima hebat."

Aku tersenyum, menganggukkan kepala. "Silakan makan siangnya, Pak. Butuh sesuatu yang lain?"

Beliau menatap makanan di meja, lalu menggeleng. "Kamu nggak makan sekalian?"

"Iya, sebentar. Saya kabari Reread dulu."

"Ohya, risalah rapat tentang pengajuan keuangan untuk Sidoarjo kemarin sudah ada?"

Aku mengangguk. "Sudah, Pak." Aku kembali berjalan ke meja untuk mencari dokumen itu, dan memberikannya pada Bapak Bapak dalam bentuk hard copy.

"Terima kasih, nanti yang soft copy juga mau, ya, Bim? Kirim ke WA saya, siapa tau nggak ke bawa ke mana-mana yang hard copy."

"Baik, Pak." Aku menyalakan tablet dan mengirimkan langsung file yang beliau maksud. "Sudah saya kirim, Pak."

Bapak tersenyum, menganggukkan kepala. "Nanti pulang kerja, ajak anak-anak dan Ibu buat ke resto seafood, ya?"

Aku mungkin sudah mengatakan ini berkali-kali dan aku sama sekali tidak keberatan untuk mengatakannya lagi, lagi, dan sampai nanti, kalau setiap Bapak menyinggung tentang kehidupan pribadinya, aku merasa dalam sekejap, Beliau berubah menjadi monster. Tapi aku tersenyum, menganggukkan kepala. "Baik, Pak."

beyond wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang