"Bisa nggak sih nggak usah lihatin terus kayak aku tuh makhluk beda dari kamu? Seolah kamu baru lihat ada makhluk kayak aku ini pertama kali."
"Gimana emang?"
Aku memutar bola mata. Lama-lama mulai tidak bisa bersikap santai dengan tatapannya yang intens, yang sebetulnya aku maknai berbeda dengan apa yang aku jelaskan padanya tadi. Bukan seperti aku adalah makhluk aneh dan tatapannya terkesan ke arah buruk. Aku dengan besar kepala memaknainya sebagai kekaguman tingkat dewa, seperti bagaimana kemampuan otaknya yang aneh itu dalam menjelaskan rasa cintanya padaku. Seperti dia ingin memasukkannya hanya untuk kemampuannya menatapnya. Dalam waktu yang dia inginkan. Tak boleh ada yang menginterupsi apalagi penasaran mengganti posisinya.
Alright, penjelasanku bahkan terdengar tidak bisa dipahami oleh manusia normal.
Hidup dengannya membuatku akan sama berotak miring.
Anehnya, aku tidak menunjukkan tanda-tanda untuk mendorongnya menjauh atau menarik diri. Merasa kami tidak layak. Merasa ini tidak akan berhasil. Entah kapan tepatnya kepercayaan diriku muncul ke permukaan seterang-terangan ini, aku tidak lagi mempertanyakan aku dan Datta. Status kami. Identitas kami. Kecocokan kami. Dengan tekad yang bulat, aku melangkah yakin sembari menggandeng tangannya.
Aku mau dia.
Aku menginginkannya.
"Bima, Sayangku ...."
Aku meletakkan sendok dan garpu di atas piring, menatapnya lelah. Nasi goreng buatanku yang dari mulai terpaksa menikmati karena keadaan darurat sampai menjadi salah satu makanan ternikmat, sekarang kembali menjadi asing di lidahku. Tetapi aku kemudian mengingat apa yang sudah kami lalui sampai ke tahap ini, aku memberinya senyum lembut yang aku yakini jarang dia terima dariku. "Kenapa, Sayang?" Suaraku pun kalah lembutnya, sesuai dengan yang aku harapkan.
Refleksnya begitu menggemaskan sekaligus menggelikan. Dia memejamkan mata, senyum menghiasi wajah, dan dia memiringkan kepalanya sedikit. Setelah matanya terbuka kembali, dia berbisik, "Suara paling indah sedunia, panggilan paling indah sedunia. I'm the luckiest person on this earth."
Kambuh lagi.
Aku hanya memutar bola mata, membuat senyumannya berubah menjadi cengiran lebar.
"Aku mau ngomong sesuatu, Bim."
"Sejak kapan pake trailer kayak gini kalau mau ngomong sesuatu? Kamu bahkan nyakitin aku dan ninggalin aku waktu itu nggak ngasih aba-aba, minimal one month notice lah."
Bibirnya berkedut, aku tidak tahu kenapa dia tidak memilih untuk memuntahkan tawanya ketimbang memendamnya seperti itu. Aku mendengar dia mengembuskan napas setelah menggosok wajah. "Nggak ada perlawanan, bahkan kalaupun kamu mau ungkit itu seumur hidup, aku akan terima."
"Memanga udah seharusnya, kamu nggak punya pilihan lain juga selain nerima. Kecuali kami milih jalan buat nggak bareng lagi."
"Don't say that. Don't ever say that again."
Aku tertawa. "Ini kamu beneran nggak bisa nunggu aku ngabisin nasi gorengku dulu?"
Kali ini dia tertawa juga. "Right, sorry, sorry. Silakan dihabisin, Sayangku."
Aku memutar bola mata dan dia tidak berbicara lagi, hanya terkekeh.
Tetapi semua memang sudah tidak lagi sama; rasa makanan dan kondisi perutku yang mendadak terasa sudah penuh. Aku menghabiskan makanan tanpa benar-benar menikmati, hanya demi tidak terbuang sia-sia di saat ada banyak sekali orang-orang kelaparan bahkan dipaksa lapar di luaran sana. Melihat piringku yang sudah bersih, aku tersenyum dan mengembuskan napas lega, menyingkirkannya bersamaan dengan piring Datta. "Kamu mau ngomong apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
beyond words
ChickLitMungkin ada banyak kata sifat-dalam ribuan bahasa-untuk menjelaskan perasaan atau emosi, tapi terkadang kamu kebingungan, tak menemukan satu kata pun yang bisa mewakili. Atau ... kamu bisa menyebutnya; beyond words. Dua kata itu yang sepertinya pal...