"Aku bersumpah, aku lebih baik nggak cerita apa-apa kalau ending-nya kamu ninggalin aku. Semuanya udah terkubur di masa lalu, Bim. I beg you, kita lupain itu, ya?"
"Gimana kalau justru ini jadi satu-satunya yang aku mau dan butuh kamu jelasin, Ta?" Aku menatapnya dengan perasaan campur aduk; bingung, sedih, takut, dan semuanya. Aku hanya terlalu jago karena tidak menangi sekarang dengan banyaknya perasaan dalam satu waktu ini. "Aku pernah nggak nuntut kamu ngelakuin sesuatu? Aku nggak pernah minta kamu milih aku atau keluargamu, aku nggak pernah ajak kamu kabur dan ninggalin keluargamu, aku nggak pernah bahas masa lalumu sama perempuan, apa yang kamu lakuin sama mereka, sejauh apa hubunganmu, apa pun. Tapi responmu sekarang ini ... membenarkan apa yang aku pikir dan takutin, Ta."
Wajahnya terlihat frustasi, padahal kami belum membahas apa pun, baru menyebut nama Bunga. Datta sudah kesulitan mengatur napas normalnya, tatapan matanya tak selembut tadi tapi justru terlihat acak-acakan seperti perasaanku, dia berusaha meraih tanganku untuk mendekat, tetapi aku memanfaatkan panjang dari window seat ini untuk memberi jarak kami berdua.
Aku mau ngobrol dengannya menggunakan kepala jernih, tidak dibumbui dengan sentuhan fisik yang akan membuyarkan fokus.
"Don't do this," lirihnya, menatapku memelas.
"Do what?"
"Bima ... please?" Entah apa menurutnya yang dia lakukan ini, memohon dan memohon sementara aku tidak tahu untuk apa dia memohon. Dia bisa memberiku penjelasan apa pun tentang Bunga dan membiarkanku untuk mencerna, menerima atau tidak itu akan terjadi nanti. Tetapi yang dilakukan laki-laki ini ketika otaknya benar-benar sudah sampai pada level kemiringan terburuk adalah tubuhnya yang merosot ke bawah, kedua tangannya menyentuh pahaku dan dia mengulang kata-kata permohonannya lagi.
Aku membuang muka.
Sudah tidak sanggup lagi berpura-pura untuk tidak memahami benang merah dari semua ini. Dari cerita Bunga, dari reaksi Datta sekarang ini, semuanya sudah jelas menjelaskan meski tanpa kata-kata. Aku sudah tahu Bunga benar, dia tidak berbohong dengan semua ceritanya, tentang keluarganya dan keluarga Datta, bahkan tentang hubungan pribadinya dengan Datta.
Permasalahannya sekarang, aku harus bereaksi bagaimana?
"Jangan benci aku, jangan tinggalin aku, aku mohon, Bim."
Aku mengelus rambut dan sebelah pipinya karena sekarang dia menyandarkan kepalanya miring di atas pahaku. Kami tidak lagi saling menatap, jadi aku tidak bisa menjelaskan bagaimana wajahnya, tetapi kemudian aku merasakan sesuatu menetes di kulitku, aku yakin itu dari matanya.
"I'm a murderer, Bim."
Elusanku di pipinya berhenti, begitupun dengan jantungku untuk sepersekian detik, kemudian digantikan dengan rasa nyeri di dada. Entah apa yang dia pikirkan, mungkin mengira aku akan menarik tanganku dari wajahnya, karena dia sekarang menyentuh tanganku dan menahannya agar tetap di sana. Aku bahkan tidak sanggup menggerakkan tubuh mendengar kalimatnya.
"When I said I'm a bad person, I am, Bim," ucapnya lagi, sementara aku memejamkan mata seolah tidak mampu lagi melihat dunia ini akan hancur dengan kalimat-kalimatnya selanjutnya. "Waktu aku bilang aku jadiin psikolog-psikiater-you name it, itu karena emang seumur hidupku akan sama, akan butuh pertolongan. Ini nggak akan sembuh dan hilang sampai aku mati."
Aku berusaha membersihkan tenggorokan dengan berdeham, dan bertanya ragu-ragu. "Ta, ini tentang Aldan?"
"Aldan cuma salah satunya."
God damn it!
Siapa lelaki yang aku cintai ini? Kenapa aku tidak pernah bisa benar-benar mengenalnya? Dia ... benar-benar terlibat pembunuhan?

KAMU SEDANG MEMBACA
beyond words
Literatura Feminina[END] Ekstra Part di Karya Karsa Mungkin ada banyak kata sifat-dalam ribuan bahasa-untuk menjelaskan perasaan atau emosi, tapi terkadang kamu kebingungan, tak menemukan satu kata pun yang bisa mewakili. Atau ... kamu bisa menyebutnya; beyond words...