Judul-judul 07

3.4K 567 9
                                        

Sampai kapan ini semua akan menjadi biasa?

Butuh berapa lama waktu agar aku, hati, dan kepalaku terbiasa dengan apa yang aku saksikan? Kapan aku bisa berdamai dengan perasaan bersalah ini? Apa yang harus aku lakukan untuk menebus semua ini? Bagaimana caranya bisa menerima kalau semua ini bukan salahku, seperti yang semua orang berusaha katakan. Bahkan kembali ke tempat ini dan melihat semuanya pun rasanya belum terbiasa dengan perubahan ini.

Aku tidak siap diberi pertanyaan-pertanyaan menyakitkan seperti kapan terakhir kali komunikasi kami, kata-kata terakhir apa yang diucapkan Atika, bagaimana hubungan kami selama ini, apakah aku melihat tanda-tanda—tidak, aku ingin menjawab semua pertanyaan dari awak media. Aku punya hak untuk diam, selagi itu tidak berhubungan dengan orang-orang penting untuk kasus ini, seperti pihak kepolisian atau keluarga Atika.

"Mbak Bima, mau saya bantu masukin barang-barangnya ke tas?"

"Oh, terima kasih, Pak Damar, saya baik-baik aja. Maaf ngelamun sedikit, saya cuma kebayang nanti akan sekangen apa sama tempat ini."

Aku tersenyum tipis, dan mengucapkan selamat terbesar dalam hidup untuk diriku sendiri. Kamu bertanya-tanya kapan akan terbiasa dengan semua ini, kenyataannya, Bima, kamu sudah terbiasa untuk hal-hal yang tidak menyenangkan. Kamu bisa berdiri hingga sekarang, artinya kamu berhasil, kamu mampu. Jadi, menambah satu hal lagi harusnya tidak terlalu mustahil.

Karena setelah ini, aku sudah memahami sedikit bagaimana hidupku akan berjalan. Pepatah bilang, segala sesuatu terjadi karena alasan. Aku tidak bermaksud membuat alasan sendiri atas kejadian menyakitkan ini, karena kalau boleh memilih, aku ingin mundur sedikit, dan memastikan Atika baik-baik saja. Kalimatku itu juga bukan bermakna aku sedang menyalahkan teman sekamarku yang bahkan sekarang sudah tidak ada di sini karena kejadian ini, hidupmu mungkin tidak akan sama lagi. Aku tidak memiliki alasan yang kuat ketika Bapak memintaku untuk tinggal di rumahnya dengan dalih ingin memastikan aku aman dalam menjalankan tugasku sebagai asprinya.

Aku tahu, beliau peduli, dan alasan itu adalah satu-satunya yang membuatku mengiyakan tawarannya, tapi ... tetap saja, ini lebih rumit dari itu. Ini bukan soal tinggal di rumah Bapak, bukan soal rasa kehilanganku, tapi semuanya bertumpuk di satu waktu, termasuk bagaimana caranya aku menghindari Datta kalau setiap hari aku habiskan di rumah yang sama dengannya?

Aku sudah melakukan kesalahan besar dengan memperlihatkan sisi lemahku di ranjang rumah sakit waktu itu, bahkan memintanya untuk tetap di sisiku, tidak meninggalkanku sendirian. Padahal, dengan begitu, aku membuka celah lebar untuk orang-orang tahu bagaimana perasaanku terhadapnya, bagaimana hubungan kami, dan sudah jelas itu bukan yang aku inginkan.

Aku harus melindungi diriku sendiri dan juga masa depan Datta.

"Mbak Bima."

"Ya?" Aku menatap Pak Damar yang sedang berjalan mendekat sambil melihat layar ponsel. "Gimana, Pak Damar?"

"Ini, berita ini, Mbak Bima pernah dihubungi sama media ini? Ini statement Mbak Bima kah?"

Aku menerima ponselnya, membaca singkat paragraf yang yang ditunjuk Pak Damar dan seketika aku tidak mampu menahan tawa geli. Aku menoleh pada Pak Damar saat menyadari ditatap dalam-dalam. "Kenapa, Pak?"

Pak Damar menggeleng dengan memberiku senyuman. "Saya yakin, semua orang sudah kasih kalimat terbaiknya buat Mbak Bima, jadi apa pun kalimat saya intinya sama. Dan tadi ketawa pertama Mbak Bima selama beberapa hari ini." Dia menepuk pundakku pelan. "Nggak ada yang mudah namanya kehilangan, semua menyisakan penyesalan dan perasaan bersalah, tapi kita manusia biasa yang penuh akan limit, semoga kekuatan Mbak Bima lekas kembali dan bertambah banyak, ada banyak orang yang butuh sosok Mbak Bima."

beyond wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang