Judul-judul 26

2.4K 370 24
                                    

Aku tidak tahu bagian mana yang terburuk dari fase hidup yang aku jalani sekarang ini. Saking semrawutnya, aku merasa justru aku yang paling gila di sini. Kehilangan fokus untuk menyusun prioritas antara rencana Datta, ada apa dengan Bapak dan Pak Damar, atau kenyataan bahwa aku dan Datta benar-benar hidup terpisah sekarang.

Tapi Tuhan tahu, yang terakhir paling banyak memberi tekanan untukku.

Tidak bisa bertemu tanpa sengaja lagi dengan Datta ketika di dapur, di teras, di meja makan, atau dia yang sembunyi-sembunyi menemuiku di kamar. Mungkin akan mendingan ketika aku masih punya jatah akhir pekan untuk keluar dari rumah ini. Tetapi setelah kejadian yang menimpa Atika, hari-hariku full di rumah ini dan aku tidak menemukan alasan masuk akal untuk keluar, menemui Datta.

Belum menemukan alasan di hadapan Bapak-Ibu; "Saya mau pulang."

Bagian menyebalkannya, laki-laki otak miring itu, seolah sedang tertelan bumi. Tebak setelah apa? Betul, ulang tahun partai. Entah dia memang lemah sudah terdoktrinisasi bahkan sebelum proses doktrin dimulai atau dia memang sedang melakukan sesuatu. Tapi apa pun itu, ini adalah tamparan untukku betapa aku selama ini meremehkannya. Aku selalu mengira satu-satunya hal menarik dari Datta hanya apa yang terlihat oleh mata dan juga usahanya ketika tentang cinta—aku akan dengan besar kepala mengatakan bahwa yang aku maksud adalah diriku.

Berkali-kali aku menatap ponsel berharap namanya muncul dan mengajakku untuk menikmati waktu berdua, menghabiskan akhir pekan penuh Bahagia. Bukan menyendiri di dalam kamar setelah berhasil alasan dengan Bapak-Ibu bahwa aku ada konsultasi online. Right, aku menjadi pembohong untuk banyak hal. Karena lebih baik demikian disbanding harus ada di tengah-tengah acara bahagia mereka bersama rekan-rekannya. Zora bahkan melakukan hal yang sama, mengatakan ada tugas yang harus dikerjakan secara kelompok, jadi dia diantar sopir ke rumah temannya. Aku tidak tahu detail itu, kebohongan sepertiku atau memang rencana nyata.

Sementara aku, di sini, menunggu Datta muncul karena dia juga tak mengangkat teleponku, tidak juga membalas pesanku.

Betapa beraninya dia membuatku mengemis seperti ini?

Lihat saja, aku tidak akan memaafkannya untuk ini. Kita lihat siapa yang akan balik memohon meminta waktuku—oh akhirnya dia muncul! Aku mengembuskan napas kasar sebelum menerima teleponnya. "Hi, Mas Datta. Habis wajib militer apa gimana?"

Aku mendengar dia terbahak-bahak. "Miss me already, uh?"

"Lebih besar keinginan buat slap your face."

"Oooh, tindakan anarkis. Apa itu bisa disebut ancaman? Aku bisa laporin itu nggak karena seorang aspri ngomong kasar dan ngasih ancaman ke anak anggota DPR, yang adalah bosnya sendiri. Dan kebetulan, si anak anggota DPR ini bentar lagi mau gantiin papanya."

Aku meringis. "Aku baru tau kamu jago banget mengkhayal. Kenapa nggak jadi script writer buat film-film drama?"

"Kamu kalau kayak gini biasanya karena butuh aku, Bim. Apa yang kamu butuh, Sayang?"

Damn! Pola pikirnya sudah benar-benar membaik secara perlahan, aku tidak menyangka prosesny akan secepat ini. Dia sudah bisa memahami konteks dan keinginan yang tersembunyi dari kalimat dan sikap seseorang. Atau ternyata, selama ini dia benar-benar memang mampu? Buktinya, kami berdua masih ada di fase ini. Masih bertahan. Ya, aku yang memang tidak banyak memberinya atensi detail.

"My hands, my lips, my tongue, my legs?"

"Your brain, Ta. Aku butuh otakmu bekerja buat hal lain selain hal-hal nggak senonoh yang ada di kepalamu itu. Bisa?"

Suara tawanya bergema, aku tahu dia paling menyukai ini, keributan ini, membuatku marah yang menurutnya menyenangkan. Apalagi selain karena otaknya memang miring. "Aku di apartemen anyway, mau datang ke sini, Sayang?"

beyond wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang