Siapa yang sedang mengobrol dengan Pak Damar di telepon itu?
Aku tidak berniat untuk menguping, tidak pula tertarik untuk mendengar atau mengurusi urusan orang lain, mengingat urusanku sendiri pun rasanya sudah nyaris tidak muat. Tetapi aku ingat Bunga dengan semua kata-katanya, membuatku entah kenapa terdiam, berharap bisa mendengar apa yang dibicarakan Pak Damar dengan suara pelan dan gestur yang tak nyaman.
"Selama ini berhasil diem dan aman, terus kenapa sekarang dan seterusnya nggak bisa?"
Apa arti kalimat itu? Apa atau siapa yang selama ini diam dan aman? Apa yang kemudian menjadi tidak aman? Seberapa banyak keluarga yang diurus Pak Damar—
"Mbak Bima?"
"Hai, Pak!" Aku sempat melihatnya sedikit panik tetapi aku percaya Pak Damar sudah nyemplung ke dunia jauh lebih dulu dariku. Dia sudah memasang wajah santai kembali, tersenyum padaku. "Lagi telepon siapa, Pak? Sibuk kah? Aku bisa pesen transportasi online aja, sih."
"Oh enggak dong, Mbak Bima." Tawa pelannya muncul. Pak Damar bergerak untuk membuka pintu mobil padahal berkali-kali aku bilang hal ini sama sekali tidak perlu. Dia bekerja untuk Bapak, tidak termasuk untukku. Kalau untuk Zora dan Datta, mungkin masih masuk akal. "Silakan."
Tapi aku tak pernah bisa memberinya alasan kemenangan, jadi aku mengangguk, duduk cantik, dan tersenyum padanya. "Terima kasih, Pak." Sebelum dia menutup pintu kembali.
Pak Damar duduk di kursi pengemudi, aku melihat dia menatapku. "Ini langsung ke apartemen Mas Datta?"
Aku meringis.
Benar-benar tidak tahu harus menjawab dan bersikap bagaimana. Dari semua orang yang aku tidak ingin mengetahui tentangku dan Datta, Pak Damar justru jadi pengecualian. Jangan lupakan Zora yang semoga saja dia percaya dengan semua alasan busllhit dariku dulu.
Aku mendengar Pak Damar tertawa, kemudian mulai menjalankan mobil. Kadang aku bingung kenapa dia begitu baik padaku padahal aku tidak melakukan apa-apa untuknya. Pak Damar bisa aja mengadu semua yang dia tahu pada Bapak dan Ibu, maka nasibku sudah pasti tamat. Tapi lihat apa yang dilakukan Pak Damar, dia bahkan tahu harus mengantarku ke mana ketika tadi Bapak bilang; "Pak Damar, tolong anterin Bima ke rumah temennya, yaa. Jauh banget soalnya di Depok."
Alright, aku memang berbohong, karena aku tidak bisa memikirkan alasan apa pun untuk bisa keluar dari rumah itu. Sejak apa yang terjadi di apartemenku, lalu Bapak-Ibu memintaku tinggal di sana dengan dalih keamanan, dan semuanya berjalan begitu saja. Seolah memang aku harus di sana. Sementara aku tidak tahu bagaimana memulai kalimat untuk bilang aku ingin mencari tempat tinggal baru. Jadi, malam indah ini, malam yang spesial ini, aku pun harus mengotorinya dengan berbohong.
"Bapak pulang dinner semalem mukanya semringah banget, Mbak Bim."
"Ohya?" Aku menoleh ke samping, menatap Pak Damar antusias. "Nggak ada tensi yang naik, kan, Pak?" Aku tertawa, Pak Damar pun sama. "Semua aman?"
"Kayaknya aman, semua orang di jalan keliatan bahagia. Alhamdulillah."
"Datta nggak ikut pulang sama sekali semalam, Pak?"
"Enggak. Selesai dinner dia langsung pulang, saya dengernya katanya mau ketemu temennya."
"Minum?"
Pak Damar melirikku sekilas dan tersenyum. Tidak mengiyakan juga tidak menyangkal. Bagaimana bisa membuat laki-laki itu berhenti mengonsumsi minuman yang selalu membuatnya dalam masalah? Bersyukurnya, kali ini sepertinya aman, karena Pak Damar tidak mengatakan apa pun tentang kekacauan yang terjadi akibat ulah Datta.
"Pak, saya turun di depan situ aja, biar Bapak nggak perlu masuk juga."
"Mas Datta-nya udah dikabari kalau Mbak Bim jalan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
beyond words
Chick-Lit[END] Ekstra Part di Karya Karsa Mungkin ada banyak kata sifat-dalam ribuan bahasa-untuk menjelaskan perasaan atau emosi, tapi terkadang kamu kebingungan, tak menemukan satu kata pun yang bisa mewakili. Atau ... kamu bisa menyebutnya; beyond words...