Kalau saja yayasan New Open World Corporation (NOWC) mau menambah lagi daftar keajaiban dunia, aku yakin ratusan juta manusia di muka bumi ini—milyaran tentu saja aku tidak bodoh—sudah pasti yang satu ini akan menang voting;
Pekerjaan sesuai job desk.
Coba tunjuk tangan, adakah satu di antara kamu yang bekerja dari pagi sampai sore, dari tanggal hijau sampai menuju tanggal libur lainnya, dari tanggal satu menuju tanggal satu di bulan berikutnya, sama persis dengan pekerjaan yang ditawarkan di banner info lowongan kerja atau obrolan saat interview—kasus agak ekstremnya, sesuai dengan iming-iming yang diinfokan oleh orang dalam sebagai malaikat baik untuk karirmu.
Aku yakin, mungkin hanya 1;10000000000000.
Atau ... ini hanya merupakan masalah-masalah internal a.k.a hanya terjadi di negaraku tercinta ini? Itu artinya 1;jutaaaan orang-orang Indonesia yang bekerja.
Aku tidak tahu pernah berdoa yang bagaimana pada Tuhan Yang Maha Esa, tapi sependek ingatanku yang bekerja ketika sedang emosi, aku tidak berdoa dan meminta untuk mengurusi hidup laki-laki kepala miring—otak miring—dengan semua masalah hidupnya. I mean, hey, apakah manusia satu itu benar-benar tak bisa tidak membuat masalah dan membiarkan aku hidup tenang?
Sekali saja, aku mohon?
Jawabannya tidak.
"Kamu tahu, kan, bayaran yang kamu terima setiap kamu melakukan sesuatu buat saya?"
Summary untuk seluruh hidupku.
Nilai hidupku hanya bisa dilihat dari satu kalimat itu, kalimat yang keluar dari mulut hitam keunguan milik bapak tua yang bahkan rambutnya pun sudah separuhnya berwarna putih. Mirisnya, laki-laki ini, meski umurnya mungkin tinggal menghitung jari di tanganmu—boleh ditambah jari kaki kalau memang Tuhan sedang berbaik hati—masih bisa mendapatkan perempuan cantik yang dia mau.
"Betul, Pak, saya tahu." Aku memberinya senyum-anggukan-dan-intonasi partai. Kamu tidak salah baca, kalau karyawan di luar sana punya senyum senjata atau senyum template untuk atasan mereka—senyum corporate, aku pun sama.
"Kalau gitu, kamu boleh pergi, jemput Mas Datta di sana. Kabari saya kabar terbarunya ya."
"Baik, Pak, permisi, Pak."
Kepalanya mengangguk.
Di sepanjang perjalanan menuju rumah duka—aku tidak bermaksud menggunakan kata-kata dengan arti harfiah, kalau setuju untuk mengikuti kisah hidupku, artinya kamu harus setuju untuk memikirkan sendiri maksud dari semua kalimatku. Yang satu ini, aku bantu dulu sebagai permulaan. Rumah duka yang aku maksud adalah Tempat Kerjadian Perkara a.k.a tempat di mana laki-laki itu sekarang berada; kantor polisi.
"Mau mampir beli kopi dulu, Mbak Bima?" Pak Damar yang baik hati, yang sudah bisa dipastikan paling memahami perasaanku, bahkan mungkin apa yang aku butuhkan. Contohnya saat ini, aku butuh espresso yang banyak. "Saya bisa belok di depan, kita drive thru."
Aku tersenyum, menatapnya dari rear view mirror. "Estimasi sampai berapa lama, Pak?"
"Di maps-nya kira-kira tiga puluh menitan, masih cukup buat minum kopi di perjalanan."
Aku mengangguk.
Setidaknya, hariku tidak terlalu buruk karena kami masih bisa menemukan salah satu merek coffee favoritku. Menurunkan kaca mobil, aku menyebutkan pesananku, lalu bertanya keinginan Pak Damar.
"Saya nggak usah, Mbak, yang pusing—"
"Nyimak drama juga bikin pusing, Pak." Aku tertawa pelan. "Mau yang kopi banget aja?"
KAMU SEDANG MEMBACA
beyond words
Literatura KobiecaMungkin ada banyak kata sifat-dalam ribuan bahasa-untuk menjelaskan perasaan atau emosi, tapi terkadang kamu kebingungan, tak menemukan satu kata pun yang bisa mewakili. Atau ... kamu bisa menyebutnya; beyond words. Dua kata itu yang sepertinya pal...