"Bim, Bimaaa!"
Suara panggilan itu setelah kira-kira 45 menit dari aku mengirim pesan untuknya. Suara yang sudah aku hafal luar dalam di kepala dan telinga. Aku mungkin selama ini merasa sudah bisa handal dalam berpikir dan bertindak secara profesional. Namun, kali ini aku bahkan sudah tidak bisa berpikir jernih. Jangankan menimbang-nimbang tindakan saat ini akan seberapa berpengaruh nantinya di kemudian hari, untuk bereaksi sekarang ini pun rasanya tidak mampu. Jadi, meski mendengar panggilan itu dengan sangat baik, aku tidak merasa perlu untuk berdiri, menghampirinya. Atau menjawabnya dengan volume lumayan keras dari sini.
Aku bersyukur sekali saat dia bisa menemukanku sendiri. Mengangkat kepala dan menatapnya putus asa, aku sudah siap untuk menangis. Membayangkan bagaimana hidupku setelah ini. Betapa bodohnya aku yang tidak berpikir banyak untuk urusan hati. Tidak pernah merasa bersyukur dengan diberi bos baik hati juga keluarganya, aku malah dengan lancang dan tidak tahu diri berhubungan dengan anaknya. Kalah dengan hati, kalah dengan emosi sesaat. Padahal aku tahu, mungkin saja pada saat itu, baik aku dan Datta, hanya iseng semata.
"Apa maksudmu tamat, Bim?" Tangannya terulur, menyentuh pipiku dan begitu saja aku sudah kalah, meneteskan air mata. Bibirku terasa sangat berat untuk mengucapkan kata. "Bim?"
"Zora tahu."
"Tahu apa?"
"Tahu semuanya."
"Apaaa?" Wajahnya terlihat sangat gusar, dia berpindah menjadi duduk di sebelahku. Menggeser tubuhku untuk menghadapnya. "Tahu apa? Soal Tika? Baim?" Matanya terpejam sembari menggelengkan kepala. "Bayu? Tahu apa, Sayang? Hm? Aku nggak akan tahu kalau kamu nggak kasih tahu. I can't read your mind, Bima, please?"
"Tahu kita." Aku mengusap mata, membuang pandangan karena tidak siap melihat matanya atau reaksinya setelah jawabanku tadi. "Dia lihat kita. Kissing. Dia bilang dia tahu kita ada something special. Kita nggak ada, kan, Ta? Kita nggak ada apa-apa, kan?" Pada akhirnya aku memberanikan diri menatapnya. Karena memang harus. Aku hanya ... kenapa harus sekarang? Kenapa di tengah perasaan dan kondisi hancur ini? Kenapa Zora datang di tengah masalah per-liburan-ku ini? "Kita emang nggak ada apa-apa, kan?"
Aku tidak mendapatkan jawaban yang aku mau.
Datta tidak menggelengkan kepala, tidak juga mengangguk.
Dia hanya diam, menatapku dalam-dalam, aku tidak tahu apa yang ada di kepalanya sekarang.
"Mas Datta."
"Sini," katanya lirih, lalu menarikku ke dalam pelukannya. Aku berusaha menolak, tetapi ketika tangannya mengelus belakang kepala dan menciumi kepalaku, aku diam. "Nanti aku bilang ke Zora. Dia di mana sekarang?"
"Masuk ke kamarnya. Kamu mau bilang apa?"
"Kamu mau aku bilang apa?"
"Kita nggak ada apa-apa?"
Dia tidak langsung memberi respon, ada jeda di sana sebelum aku merasakan dia mengangguk dan mengatakan, "Okay, nggak ada apa-apa."
"Gimana soal kissing? Dia liat itu. Aku udah coba yakinin ke dia kalau kita nggak ada apa-apa, tapi dia kelihatan nggak percaya."
"Dia bilang apa?"
"Hm?" Aku berpikir sejenak, mengingat setiap kata yang tadi diucapkan Zora. "Dia bilang 'I kinda like you'." Aku mendengar Datta tertawa pelan. "Dia juga bilang nggak akan bilang ke Bapak-Ibu."
"Berarti dia nggak akan bilang."
"Kenapa kamu bisa yakin? Gimana kalau nanti dia bilang juga?"
Pelukan dilepas, kini Datta menyentuh kedua bahu, dan menatapku serius. "Enggak akan, aku janji setelah aku bilang sama dia, dia nggak akan bilang apa-apa sama Mama-Papa."

KAMU SEDANG MEMBACA
beyond words
ChickLit[END] Ekstra Part di Karya Karsa Mungkin ada banyak kata sifat-dalam ribuan bahasa-untuk menjelaskan perasaan atau emosi, tapi terkadang kamu kebingungan, tak menemukan satu kata pun yang bisa mewakili. Atau ... kamu bisa menyebutnya; beyond words...