Judul-judul 05

4.3K 729 27
                                        

"Mas Datta, kita mau beli hadian buat Zora, kan? Ini nggak salah tempat malah ke arah restoran?"

Langkah kakinya langsung terhenti. Dia berbalik badan, menatapku tanpa ekspresi menyebalkan yang sering dia berikan. Kali ini, dia terlihat sangat serius. "Apa yang Papa bilang ke kamu?"

Aku menatapnya bingung, tetapi tetap menjawabnya sebaik dan sesopan mungkin. Karena satu hal yang harus selalu aku ingat, dia anak dari bosku. Jadi, tidak peduli bagaimana buruknya komunikasi kami, hubungan kami, tetapi aku tahu aku akan tetap berurusan dengannya. "Bantuin Mas Datta beli hadiah buat Zora."

"Itu aja?" Datta bergeser, karena ada beberapa orang mulai melewati kami, dan aku jelas mengikuti gerakannya. Menyingkir sedikit.

Aku mengangguk.

"Kamu boleh protes sama bosmu," katanya cuek. "Karena dia kasih perintah kurang detail. Sebelum beli hadiah buat Zora, saya mau meeting singkat, di sana ada kafe." Dia menunjuk asal entah kafe mana yang dia maksud, tetapi pada intinya aku paham kalimatnya. "Kalau kamu punya kegiatan lain yang lebih penting, silakan pergi, nggak masalah, saya bisa sendiri."

Dia marah.

Sangat mudah diartikan.

Perubahan kata 'aku' menjadi 'saya' sudah bisa menjadi tanda kuat untuk mengetahuinya. Perubahan 'papa' menjadi 'Bapak' juga menjadi tanda berikutnya. Ditambah keikhlasannya untuk membiarkanku pergi, itu sama sekali bukan Datta biasanya. Datta akan selalu ngotot terhadap apa yang dia inginkan, jadi ketika dia terlihat menyerah, berarti ada yang salah.

Aku tidak ingin masalah ini semakin panjang kalau-kalau nanti Bapak tahu, jadi pulang ke apartemen sekarang dan membiarkan Datta sendirian—ini bukan perihal dia sudah dewasa atau apa, tetapi masalah tanggung jawabku nanti di depan Bapak—justru akan menimbulkan masalah. Aku tidak mau tidak memiliki jawaban fakta ketika nanti Bapak bertanya.

Jadi, memasang senyum karyawan, aku menjawabnya, "Saya temenin Mas Datta sampai selesai sesuai permintaan Bapak."

"Good," ucapnya, menganggukkan kepala. Kemudian merogoh saku jeans, meraih ponsel dan menelepon seseorang. "Udah di sana, Bro? Gue dikit lagi sih ini, udah di gedungnya. Tinggal jalan ke kafenya. Oh okay okay okay. Nggak masalah, santai ajaaa. Gue pesenin sekakian dulu ya? Kopi atau?"

"..."

"Alright. Yooo." Ponselnya kembali dia masukkan ke dalam saku, tangannya bergerak untuk merapikan gulungan kemeja bergantian kiri-kanan, kemudian berjalan lagi. Tidak ada ajakan untukku, tetapi aku tetap mengikutinya di belakang.

Begitu kurang dari tiga langkah dari pintu kafe, aku mendahuluinya, dan menghadangnya secepat yang aku bisa. "Mas Datta bisa tunggu di sini sebentar, biar saya siapin kursi kosong." Datta ketika normal akan sangat marah diperlakukan sama dengan aku memperlakukan papanya, tapi kali ini dia mengangguk tanpa ekspresi atau kata tambahan apa pun. "Ada berapa orang nanti, Mas?"

"Tiga."

Aku mengangguk.

Tanganku baru menempel pada pintu, bersiap untuk mendorongnya, tetapi aku berhenti sejenak karena mendengar suaranya. "Tiga sama kamu." Aku tidak menoleh atau menjawab, melanjutkan langkah untuk melakukan tugas dengan baik. Menyapa salah satu staf, meminta meja kosong dengan tiga kursi seperti pesanannya, lalu memintanya untuk menyiapkan buku menu. Begitu semua sudah beres, aku kembali keluar, mengajaknya masuk ke dalam dan menempati kursi yang tersedia.

Dia tidak berusaha mengajakku berbicara seperti usaha-usaha yang dia lakukan sebelumnya, yang dia lakukan setelah duduk adalah bermain ponsel, kemudian membaca buku menu. Setelah menemukan yang dia inginkan, dia memintaku memesannya, satu untuk temannya, dan menambahkan pesan agar aku tidak lupa memesan untuk diriku sendiri. Dia yang biasanya akan kesal dipanggil 'Mas' juga akan bilang 'aku bukan bosmu yang harus kamu layani, aku mau kalau sama aku, aku yang layani kamu'.

beyond wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang