Judul-judul 11

3.5K 639 26
                                        

"Ini ... Bayu. Dia pacarnya Tika." Aku sungguh tidak tahu apakah aku memang memiliki kewajiban melakukan pengenalan ini. Faktanya, Datta bukan siapa-siapa, bahkan aku yakin seratus persen, kalaupun Bapak yang melihatku tadi, Beliau tidak akan memberi tatapan menelisik seperti Datta barusan. Beliau tidak akan ikut campur ke dalam kehidupan pribadiku. "Bay, ini Mas Datta, dia anaknya bosku."

Kenapa mata Datta menyipit terlihat tak suka? Dia memang anak Hassan Budiawan, bukan? Atasanku. Bosku. Lalu informasi jenis apa yang dia harapkan ada di kalimatku?

"Ohya, salam kenal, Mas. Gue Bayu." Bayu mengulurkan tangan, terlihat sangat berusaha untuk mengubah situasi hatinya dengan memasang senyum ramah. Padahal beberapa detik lalu baru saja frustasi akan rasa penyesalan.

Datta menjabat tangan Bayu, balas memberi senyum. "Datta."

Selanjutnya apa?

Kenapa Datta tidak langsung berpamitan dengan mengatakan; 'Selamat menikmati kopinya, duluan yaaa!'? Aku malah melihat lelaki ini otaknya sedang kembali miring karena dia menarik salah satu kursi kosong dan ikut duduk. Mendongak, menatap aku dan Bayu sembari tersenyum lebar. Aku merasakan senyumnya dibuat-buat dan justru terasa horor, juga sedikit, menyebalkan.

Aku biasanya pandai beradaptasi dalam banyak situasi, kecepatan berpikirku juga tidak terlalu buruk. Aku tahu kemampuanku, untuk itu aku ada di sini, sebagai asisten pribadinya Bapak. Tapi kali ini, aku merasa sedikit lemah setelah percakapan dengan Bayu tadi. Ditambah melihatnya yang ternyata lebih parah rasa bersalahnya dari aku.

Jadi, aku tidak tahu bagaimana menghadapi situasi sekarang dengan Datta yang malah memilih duduk bersama kami. Sepertinya Bayu pun sama bingungnya. Oh dia sudah bisa dipastikan, karena perpindahan situasi yang begitu cepat. Aku yakin kepalanya masih pening atas rasa sedih dan tangis pelannya tadi, lalu sekarang dipaksa harus berbincang ramah-tamah penuh basa-basi dengan orang asing.

"Mas Datta perlu sesuatu?"

Kepalanya menoleh, langsung mengangguk sambil masih memasang senyum. Tak peduli seberapa besar rasa kesal dan bencinya pada sang ayah, nyatanya, sedikit-banyak, dia memiliki kesamaan dengan Bapak. "Sesungguhnya iya, tapi kayaknya kamu lagi sibuk sama pacarmu?"

"Oh bukan, Mas Datta." Itu bukan aku yang menjelaskan, tentu saja, karena aku mulai bisa berpikir normal bahwa less is more dalam menghadapi Datta. "Gue temannya Bima."

"Oh sorry, sorry," katanya, entah terdengar tulus atau tidak ucapan maafnya. "Soalnya langka banget liat cewek-cowok temenan." Kalimatnya benar-benar memuakkan, aku tahu. "Gue turut berduka cita sama apa yang terjadi ya, Mas Bayu."

"Thanks, Mas Datta." Bayu menatapku, diam beberapa detik sebelum akhirnya berdeham dan merapikan diri. "Okay kalau gitu, gue pergi duluaaan, mau mampir ke apotik juga, ada titipan obat orang rumah." Hal ini sudah aku duga akan dilakukan oleh Bayu. Siapa juga yang akan betah duduk diam bersama orang asing dengan suasana yang tak ramah meski diisi penuh senyum dan kalimat baik. "Anyway, gue makasih banget ya, Bim, buat semuanya. Talk to you later."

"Hati-hati, yaaa, Bay. Lo bisa chat atau telepon, okay?"

"I know," jawabnya tertawa pelan. "Mas Datta, gue duluan yaaa."

"Yooo, hati-hati, yaaa!"

Aku sudah menahan ekspresi ini sejak tadi karena tidak ingin Bayu melihat ketololanku atau Datta. Aku tidak mau Bayu berpikir hubungan macam apa yang dilakukan oleh anak dari majikan dengan asisten pribadi, apalagi kalau sampai tadi aku memberi tatapan peperangan untuk Datta. Tapi sekarang kondisi sudah clear, aku sudah bisa bersedekap tangan, dan menatap Datta tajam.

beyond wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang