Judul-judul 17

2.9K 531 13
                                    

"Gimana rasanya sesekali jadi orang yang nggak ngelawan terus padahal nggak lagi disiksa? Nggak meninggal, kan, Bim?"

Sambutan yang aku dengar tepat ketika aku membuka pintu mobilnya di lobby. Aku tidak tahu respon apa yang bisa aku berikan selain desahan napas kasar, lelah dengan caranya menunjukkan cinta dan sayang. Penuh dengan pisau tajam, kadang juga bertebaran bunga. Keduanya, aku sukai meski bukan berarti tanpa perlawanan atau komplain. Aku sukai pun maksudnya bukan untuk aku perjuangkan miliki di kemudian hari, justru aku sedang ingin pergi.

Meski untuk sekarang, apa yang aku lakukan terbalik. Aku sama sekali tidak mencerminkan seseorang yang ingin menjauh dari orang lain. Mirisnya, aku juga harus disadarkan oleh Datta untuk menerima fakta mengerikan ini.

"Mana minta maafnya?" Dia kembali mencoba peruntungan, karena di kalimat pertama tadi ternyata tidak berpengaruh apa-apa padaku. Aku masih bisa menahan diri untuk tidak terpantik emosi dan menjawabnya. "Aku beneran benci kata-kata lewat chat, Bim. You know that. Mutusin aku aja belum bisa aku terima lewat chat, sekarang minta maaf karena kesalahan besar, kamu pakai chat lagi. Kapan belajar dari pengalaman?"

Kali ini aku begitu tertarik dengan kalimat berlimpah yang keluar dari mulutnya, demi Tuhan, aku yakin semuanya memang untuk menyerangku. Jadi, aku menoleh, menyerongkan tubuh, sambil bersedekap tangan di dada, aku tersenyum, masih berusaha profesional. Sejujurnya, menghadapi lelaki ini akan lebih bagus degan gaya formal daripada memperlihatkan perasaan pribadi. Yang kedua jelas yang dia harapkan. "Oh kita bahas soal kapan belajar dari pengalaman sekarang?"

Alisnya menukik. Ia sempat menoleh sekilas, lalu tangannya kembali sibuk demi kelancaran jalannya mobil ini. Aku tidak tahu kami akan ke mana, yang aku tahu pasti dia bilang kelaparan. Kalau masih sebagai manusia, kami akan mencari makanan normal pada umumnya. Kalau ternyata dia sungguh sudah berubah menjadi buaya, mungkin dia akan memutar balik, dan membawaku ke kamar yang akan aku tinggali untuk sementara.

Aku menelan ludah, menggelengkan kepala.

"Kenapa kamu tadi tiba-tiba minta maaf?"

Aku menoleh, menatapnya penuh keheranan.

"Setelah sekian lama, bahkan nggak kepikiran sama sekali kalau kamu tuh jahat ke aku?" Datta mengeluarkan tawa yang berisi kesinisan, memenuhi seisi mobil. "Worshipping aku tuh beneran mupuk confidence kamu, ya? Nggak ngerasa ketebalan tapi?"

Tawaku lepas pada akhirnya, aku hanya bisa mengaturnya sedikit lebih tenang, tidak memperlihatkan bahwa aku menerima kalimat-kalimat amarahnya ini sebagai hiburan. Aku sungguh orang yang payah dan kejam untuk Datta kali ini, aku tahu semua orang akan berpikir begitu.

Membenarkan pandangan orang terhadapku itu, aku memilih masih tetap diam, karena merasa ingin lebih, minimal satu kali lagi, mendengarnya mengomel. Walaupun tidak seratus persen bisa dinilai sebagai omelan, tapi kalimat yang dia keluarkan beserta intonasinya itu, menurutku sudah cocok disebut sebagai perwakilan dari emosinya.

Anehnya, yang seperti ini terasa menenangkan dibandingkan amarahnya ketika masih di rumahnya tadi. Aku merasa seakan-akan ... aku tidak tahu pasti bagaimana menyebutnya, tetapi rasanya seperti akan kehilangan dia? Atau kehilangan cintanya? Atau kehilangan obsesinya seperti yang dia bilang?

Jika benar begitu, aku memang jahat padanya, bukan?

"Ini kamu beneran mau bisu sampai kiamat?"

Aku menggoyang-goyangkan tubuh, masih menunggunya sejauh apa melangkah.

"Terus kalau bisu gini, gimana nanti makannya? Masih bisa buka mulut? Apa perlu bantuan lewat selang?"

Aku memasang wajah lembut, menatapnya penuh cinta dan haru. "Lagi, Mas Datta. Aku suka dengerin kata-katamu dari tadi, positif banget dan motivatif."

beyond wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang