Judul-judul 09

3.4K 619 17
                                        

"Mbak Bima, saya suka lupa nih sama tiket parkir, tolong bawain."

"Ya Allah, Mas, Mbak Bima tuh asprinya Papa, bukan kita semua. Kamu kalau perlu jasanya, berarti dia berhak nerima bayaran double."

"Nggak pa-pa, Bu, karena sedang libur kerja untuk Bapak, jasa saya bisa Ibu pakai atau Mas Datta juga."

Aku menerima kertas yang diberikan Datta, tersenyum sopan, dan memasukkannya ke dalam tas, lalu kami kembali berjalan memasuki mall. Aku tahu, sudah sangat paham dengan apa pun tindakan Datta. Dia hanya ingin mencari-cari celah dan entah kenapa itu terlihat lucu. Namun, aku terlalu jago menutupi semuanya karena ini lah duniaku, jadi aku bisa memasang wajah profesional selama apa pun.

Kami—termasuk Datta, aku tidak tahu kenapa dia tidak jadi hanya menurunkan kami dan pergi meeting singkatnya itu, dia malah ikut kami—memasuki toko yang mungkin sudah Ibu ingin kunjungi dan disambut oleh salah satu staf. Mereka terlihat akrab, aku paham mungkin Ibu bukan kali pertama ke sini dan bertemu dengan staf ... namanya Kak Clara.

"Yang ini ukurannya ada yang di atas dia sedikit nggak, Kak Clara? Tapi jangan terlalu lebih gede."

"Untuk yang ini sayangnya ukurannya memang jaraknya jauh, Bu. ini yang kecil, ada lagi yang besar. Mungkin pilihannya lebih variatif di warna ketimbang di ukuran. Mau lihat pilihan warnanya atau ukuran yang besar?"

"Sebentar, saya tanya dulu." Ibu menoleh padaku, tersenyum lebar. "Menurutmu, lebih bagus yang mana ya, Bim? Ukuran segini atau yang besar sekalian?"

"Temannya Ibu suka kegiatan di luar atau cuma sesekali?"

"Dia aktif sih, lumayan. Oh dan punya bayi."

"Tapi peralatan bayi nggak masuk ke tas ibunya biasanya, Bu." Aku tertawa pelan, beliau pun ikut tertawa sambil memukul jidatnya. Kak Clara di sebelah Ibu juga tidak ketinggalan. "Jadi, peralatan baby biasanya ada tas sendiri yang dibawa Sus, dan ukuran ini paling baik menurut saya, Bu. Simpel."

"Okay." Ibu menoleh pada Kak Clara. "Yang ini aja, Kak. Ng, warnanya apa, ya?"

"Temannya suka warna neutral atau colorful, Bu?" tanya Kak Clara sembari melirikku, aku memberinya anggukan dan senyuman. "Kalau suka yang neutral, warna ivory ini bagus kalau nggak mau hitam pekat. Atau brown ini bagus juga. Menurut Mbaknya gimana?" tanyanya padaku.

Aku mengangguk setuju. "Setuju sama Kak Clara."

"Yang ivory aja deh."

"Baik, mari sebelah sini, Bu. Kita bantu lihat detail sekali lagi."

"Okay. Bima kamu boleh lihat-lihat dulu, nanti kalau ada yang kamu suka, ambil aja."

"Terima kasih, Bu, tapi tas saya sudah cukup. Sayang kalau nggak terlalu dipakai juga."

"Buat ganti-ganti?"

"Saya jarang main, Bu." Aku tersenyum.

"Cari yang bisa buat kerja dong. Sana, cari."

Aku mengangguk.

Menyadari karakter keluarga ini yang tidak bisa mendengar penolakan dan tak memiliki kesabaran, aku paham yang harus aku lakukan saat ini adalah mengiyakan. Berjalan ke sana-sini dan aku baru sadar, lelaki otak miring itu tidak bersama kami. Bukankah tadi kami memasuki toko ini bertiga? Kapan dia pergi dan bisa-bisanya dia tidak berpamitan pada mamanya? Atau aku yang tidak mendengar, mungkin?

Aku menggelengkan kepala.

Justru ini bagus untukku, jadi tidak perlu menambah energi menghadapi dua manusia dari keluarga Budiawan ini.

beyond wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang