Mungkin aku akan menikmati peran baruku yang sekarang; perempuan tidak tahu malu.
Alih-alih segera meraih tas dan kembali ke Jakarta, aku tetap pura-pura tidak ada masalah berada di rumah Eyang—mirisnya, ini bahkan bukan rumah Eyangku sendiri, ini rumah Eyang Datta. Manusia normal akan segera enyah dari sini apalagi ketika satu-satunya alasannya menginjakkan kaki di lantai rumah ini justru memintanya pergi, menjauh, menyelamatkan diri, persetan apa pun istilahnya tadi, intinya satu; dia menginginkan aku pergi. Pergi dari rumah ini dan kehidupannya.
Tapi itu Bima yang dulu, Ta.
Sebelum ini.
Kamu sudah terlambat. Terlambat cukup lama.
Kalau dulu kamu mengatakan ini padaku, aku akan dengan senyum lebar dan mengangguk, melakukan apa yang kamu sekarang ini tanpa beban. Tapi sekarang aku tidak bisa mundur lagi, setelah apa yang aku rasakan, setelah apa yang aku lihat terjadi pada kehidupanmu. Biarlah aku menjadi manusia naif yang bertingkah bak pahlawan untukmu, padahal aku tidak memiliki kekuatan apa-apa, tetapi aku sungguh ingin melakukan apa yang aku bisa; hal paling kecil adalah tetap berada di sisimu.
Aku mau menjadi besar kepala dengan berpikir kamu masih mencintaiku. Kamu memintaku pergi bukan karena cintamu sudah tidak ada di sana lagi, tetapi kamu ingin melindungiku. Kamu menginginkan kehidupan yang layak dan bahagia untukku. Untuk itu aku tetap di sini, kehidupan bersamamu lah yang aku mau, dengan segala apa yang (akan) terjadi.
"I'm ready to go." Senyumanku melebar, berdiri dengan usaha penuh untuk terlihat percaya diri dan bahagia. Waktuku tidak banyak di sini, sebelum Senin pagi aku harus sudah bersama Bapak, kecuali aku menemukan alasan terbaik untuk menambah waktu bersama 'abang' seperti kebohonganku pada Beliau. "Eyang beneran nggak mau ikut?"
Eyang tersenyum sambil menggeleng. "Eyang udah harus hemat tenaga, Sayang. Lagian Eyang bisa kapan pun buat keliling Bandung. Kamu, kan, jarang-jarang di sini."
Aku tersenyum, menganggukkan kepala.
"Pulang ke Jakartanya masih besok malam, kan?"
"Iya, Eyang."
"Dijemput Pak Danar atau?"
"Sama Datta, Eyang." Itu bukan suaraku yang terdengar, bukan jawabanku. Datta yang menjawab sambil berdiri dari sofa dan mendekatiku.
"Dianterin Kang Mahmud? Kamu, kan, nggak bawa mobil?"
"Mau naik kereta, kayaknya seru."
Kayaknya seru.
Aku tertawa dalam hati, lalu bertanya juga masih di dalam hati, untuk diriku sendiri; bahkan memangnya pernah kah dia naik kereta api? Baik kereta lokal maupun kereta jarak jauh?
Tetapi aku tetap menjaga semua pertanyaan itu di dalam hati, paling tidak sampai kami berdua sudah duduk di dalam mobil Eyang. Aku memasang sabuk pengaman, kemudian meliriknya, sudah tidak lagi menahan senyum geliku. Datta kebalikannya. Sejak tadi malam tidak mendapatkan jawaban menyenangkan dariku—dia jelas berharap aku menjawab iya untuk pergi, tetapi yang aku lakukan adalah tetap tersenyum dan berpura-pura tidak mendengar ide gilanya itu—dia mengubah sikap. Mungkin niatnya untuk meyakinkan apa yang dia ucapkan semalam, agar aku percaya dan menyerah.
Sekali lagi, Datta, aku sudah mengambil keputusan dan menentukan sikap. Kamu akan lihat aku tidak pernah lagi menganggap perasaan kita sesepele itu. Aku akan berjuang sampai aku sudah tidak mampu lagi.
"Kamu emangnya udah pernah naik kereta, Ta?" Kedua tanganku menggenggam sabuk pengaman sambil sedikit menoleh menatapnya.
"Pernah," jawabnya seadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
beyond words
ChickLitMungkin ada banyak kata sifat-dalam ribuan bahasa-untuk menjelaskan perasaan atau emosi, tapi terkadang kamu kebingungan, tak menemukan satu kata pun yang bisa mewakili. Atau ... kamu bisa menyebutnya; beyond words. Dua kata itu yang sepertinya pal...