Judul-judul 27

2K 361 19
                                    

"Menurutmu kamu bisa bertahan sampai kapan, Ta?"

"Tentang apa ini?"

"Semua ini. Terutama kita berdua." Aku mengembuskan napas panjang, mengubah posisi dari miring menatapnya menjadi telentang, menarik selimut sampai dada dan menatap langit-langit kamar. Lampu utama sudah mati, aku bisa melihat cahaya di kamar ini dari lampu tidur yang Datta beli. "Kamu sampai kapan bisa nahan diri buat nggak melakukan itu sama aku? Let's be honest and be clear, kita berdua manusia dewasa dan normal, aku tahu hal itu, bagian yang hampir memenuhi separuh hidup laki-laki." Aku menoleh dan menatapnya tajam ketika mendengar respon darinya adalah tawa. Memang bukan tawa kencang, tetapi tetap saja terdengar menyebalkan. "Aku nggak lagi bercanda, Mas Datta."

"Right. Sorry, sorry." Dia juga mengubah posisinya menjadi telentang setelah mengembuskan napas panjang. Kedua tangannya di atas perut, lalu aku melihat dari samping bibirnya terbuka kembali. "Menurutmu, cowok tuh nggak bisa buat nggak seks, ya? Atau gimana?"

"Mungkin?"

Senyumnya muncul, kepalanya miring dan kami saling tatap. "Aku emang nggak suci, Bim, aku udah pernah ngelakuinnya, I'm being honest, okay?" Aku mengangguk, meski rasanya sangat ganjil di dalam hati, tetapi aku tahu sudah seharusnya tidak begitu kecewa dengan jawaban ini, karena apa yang aku harapkan darinya? "Tapi aku bukan predator, aku nggak berburu ke mana-mana dan apa pun yang aku lihat, aku embat. Seks jadi bagian penting buat cowok, mungkin bener, tapi aku masih waras."

"Jadi selama sama aku, kamu nggak beli di luar sana?"

"Beli? Beli apa?"

"Itu."

"Sebut apa." Tatapannya berubah menjadi begitu serius dan ... aku ternyata sudah berhasil membangkitkan sisi Datta yang satu ini; tatapan tajam, rahangnya mengeras ketika dia sangat serius atau bahkan nyaris menuju jurang kemarahan. "Aku nggak nerima kata-kata kiasan, kamu yang bisa harus clear."

"Kita nggak buta kalau di luar sana banyak laki-laki yang suka bayar perempuan buat memuaskan nafsunya, kan, Ta? Ada juga yang nggak keluar uang, dengan cara jalin hubungan mau sama mau, khusus buat kebutuhan biologis yang satu itu, seks."

"Kita nggak buta maksudmu ini, berarti kita berdua juga begitu? Atau kamu lagi nyebut semua laki-laki kayak gitu?"

Aku diam, tak menjawab.

Setelah ini mungkin dia akan marah besar atau menceramahiku dengan kata-kata jahat, tetapi aku sudah siap. Karena memang aku yang memancingnya, aku juga yang akan menerima dan mendengarkannya.

"Termasuk Bapak? Bapak kebanggaanmu itu kayak gitu, Bim?"

Mataku seketika melotot. "Jangan mulai, Datta. Kita nggak pernah ke arah sana, aku nggak pernah setuju dan biarin kamu bawa obrolan kita ke arah sana. Aku tahu kamu benci Papamu, tapi kamu nggak bisa seenaknya bikin kesimpulan semua hal buruk itu ada di Papamu. Kamu nggak boleh sejahat itu sama Beliau."

Dia mencemoohku. "Pasti menyenangkan rasanya punya suporter yang nggak pandang bulu dalam kondisi apa pun selalu bela." Datta menggosok hidungnya. "Aku nggak boleh kasih kesimpulan buruk ke Papa, padahal aku lagi ikutin logikamu. Tapi kamu sendiri dari tadi kasih kesimpulan buruk tentang aku. Aku seburuk itu di matamu, Bim?"

Alright.

Sudah dimulai.

Aku tahu aku salah karena terlalu terbawa suasana isi kepala yang penuh dan malah mengucakannya langsung. Harusnya keresahan ini hanya aku pendam dan tidak usah dibahas entah bagaimana dia menyelesaikan dirinya dengan nafsunya sendiri. Seharusnya, aku tidak usah memikirkan dan peduli sampai sana. Kalau memang bukan ... ini tentangku. Ya, sebetulnya ini tentang Datta atau kamu sendiri, Bima?

beyond wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang