Judul-judul 43

1.8K 365 38
                                    

Aku berhenti melangkah sebelum memasuki cafe yang sudah ditentukan untuk bertemu dengan Bunga, menarik napas dalam-dalam dan sempat terpikirkan untuk berbalik badan karena merasa ini tidak ada gunanya.

Namun, entah kenapa kakiku tetap melangkah memasuki cafe dan langsung menemukan Bunga duduk di salah satu kursi. Aku tidak buru-buru mendekatinya, menyempatkan diri menganalisa singkat gestur tubuhnya yang terlihat tak nyaman. Kedua tangan memegang cup di atas meja dengan jari-jemari mengetuk-ngetuk badan cup itu.

Dia mungkin benar-benar sedang dalam kondisi terjepit.

Berurusan dengan keluarga Budiawan memang tak pernah mudah, setidaknya aku tahu rasanya selama ini. Bukan cuma menguras waktu dan tenaga, tetapi segala yang ada di hatimu juga. Sekali saja kamu menceburkan diri, kamu tak akan bisa keluar selain dengan perasaan terluka.

Aku berdeham dan segera memasang senyum di wajah, lalu menghampirinya. "Hai!"

Dia mengangguk dan tersenyum, mempersilakanku duduk di kursi depannya. "Mau minum apa, Bim? Biar aku yang pesenin."

"Oh ini pesen langsung bayar?"

"Iya, tapi nggak pa-pa. Kamu mau apa?"

"Iced matcha latte aja, Bunga. Thank you."

"Makanannya? Mau yang gurih atau manis?"

Aku menggeleng. "Enggak, makasih. Aku udah kenyang."

"Serius?"

"Ya. Minuman aja."

"Okay. Tunggu sebentar, yaaa." Dia berdiri dan berjalan ke arah kasir, aku memandangnya selama dia di sana sambil terus menerka-nerka di dalam kepalaku sendiri kira-kira apa yang akan kami bicarakan malam ini. Apa yang bisa aku lakukan untuk membantunya. Apa yang akan terjadi nanti setelah kami selesai berbicara.

Semuanya.

Semuanya membingungkan.

Setelah menunggu beberapa saat, dia kembali dengan membawa cup minumanku juga dua botol kecil air mineral. Dengan segera aku berdiri membantunya menerima minumanku. "Thanks, Bunga."

Dia mengangguk sambil tersenyum, kami masing-masing kembali duduk di kursi.

Aku tahu tidak akan ada basa-basi dengan membahas hal-hal manis atau khayalan setelah ini. Kami bertemu di sini untuk sesuatu yang tak nyaman; masalah tak pernah bisa disebut sebagai kenyamanan. Untuk itu, sebelum memulai masuk ke inti masalah, aku langsung mencicipi minumanku setidaknya untuk memberi sedikit rasa senang. Lalu aku mendorongnya ke pinggir kanan, dan menatap Bunga serius, sama seperti apa yang dia lakukan.

Dia tidak akan lagi bisa menahan diri. "Sebelumnya aku mau minta maaf karena masih harus ganggu kamu, Bim."

Aku mengangguk.

"Aku juga makasih banget karena kamu mau dateng ke sini."

Lagi, aku menganggukkan kepala karena sungguh tidak tahu harus merespon apa untuk situasi aneh ini. Sebagai tambahannya, aku memberinya senyuman manis, berharap tidak terlalu memberi kesan mempercanggung suasana.

"Pak Hasan dan Pak Damar nemuin aku." Tawa pelannya keluar yang sama sekali tak bisa dimaknai sebagai tawa bahagia. Dia menertawakan dirinya, hidupnya, atau mungkin keluarga Datta. "Pak Damar itu ... orang yang lebih pengen aku singkirin daripada Pak Hasan itu sendiri, Bim. Dia ada di mana-mana, dia tahu apa pun, dia bisa lakuin apa pun. Beneran tangan kanan yang berfungsi dengan sangat baik."

Aku setuju kali ini. Sangat menyetujuinya.

Kalau diingat-ingat hidupku ke belakang, aku bisa merangkum semuanya yang dilakukan Pak Damar, dan semua itu nyaris sempurna. Alright, aku tahu manusia tidak berhak mengklaim kesempurnaan apalagi untuk yang ber-Tuhan, tetapi yang aku maksud adalah ... Pak Damar ini, dia benar-benar bisa mengerjakan semuanya saat kamu terlelap. Masalah Datta beres di tangannya, korban yang disebabkan Datta beres di tangannya, kebutuhan Bapak yang bukan hal-hal pribadi remeh seperti kopi dan risalah bisa dikerjakan Pak Damar.

beyond wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang