"Kamu mau penjelasan langsung, kan?" Setelah kalimatku itu keluar, tangannya berhenti, dan matanya melirikku. "Aku jelasin tapi ini jadi yang terakhir, aku nggak menerima banding, diskusi, atau negosiasi apa pun. Kalau kamu setuju, aku lanjut jelasin, tapi kalau kamu kekeh dengan semua strategimu, aku milih untuk lupain semuanya di meja ini."
Dia menyodorkan kembali sapu tanganku, sambil menatapku menelisik. Kemudian mengangguk.
"Aku nggak tahu kamu kenal sama Pak Hendrik atau enggak, tapi yang jelas beliau anggota DPR dan sekarang lagi ada kasus main gila sama salah satu asprinya. Detail gilanya nggak perlu kita bahas, pada intinya, kamu mungkin familiar sama stigma buruk yang ada di masyarakat tentang aspri dan bosnya. Aku nggak akan sok-sokan bilang itu rumor atau apa, tapi aku usaha banget, lho, Ta, buat kerjaanku." Aku tertawa. Menghirup oksigen sebanyak mungkin, mengeluarkan pelan. "Aku mau profesional, aku mau orang tau dan lihat kalau aspri juga bisa dinilai sebagai pekerjaan yang profesional. Mengurus keperluan pribadi bos itu nggak sama dengan mengurus hasrat dan alat kelamin mereka." Aku mendengar Datta tersedak ludahnya sendiri, tetapi dia harus tahu, aku bisa sama vulgarnya memilih kata-kata untuk memberi penjelasan. "Nggak semua aspri itu bisa dipake bosnya dan orang juga harus sadar nggak semua bos itu nafsu sama asprinya. Contohnya Bapak, aku dan Bapak berhasil bangun hubungan baik dan profesional, orang-orang di kompleks Senayan yang kenal dan lihat kami bilang kami kelihatan kayak ayah sama anak." Aku tersenyum lebar. "Aku pantes, kan, ngerasa bangga dan happy sama pencapaianku ini? Apalagi kalau kamu inget, di awal mamamu sempet ngira aku ada main sama papamu, dan sekarang beliau jadi salah satu orang yang paling percaya aku. Aku pantes nggak ngerasa bangga sama diriku sendiri?"
Dia mengangguk.
"Aku nggak mau ngerusak semua yang udah berhasil kami bangun itu, Ta. Asprinya Pak Hendrik, jadi jelek banget namanya. Bukan cuma nama, kamu pasti tau dong, Pak Hendrik mungkin akan jelek dan kacau sesaat, tapi dengan uang dan power yang beliau punya, hidupnya nggak akan tamat detik itu, kan? Gimana asprinya? Begitu dia dipecat, terus namanya jadi jelek, perusahaan mana yang mau nampung dia? Gimana dia melanjutkan hidup?"
Rahangnya mengeras, aku paham dia tidak bisa menerima semua penjelasanku.
"Aspri tuh nggak punya kekuatan apa-apa, Ta, kami cuma kayak debu di atas meja, yang bisa kapan pun mereka usap. Mungkin aku memang nggak ada main gila sama Bapak, tapi apa bedanya kalaupun main gilanya sama kamu?" Semoga dia paham, semoga dia memahami bagaimana kerja dunia memang tidak pernah adil untuk semua orang. "Menurutmu, kalau semua orang tau nanti, mereka masih bisa lihat aku dengan cara yang sama? Jawabannya pasti enggak. Kamu akan jelek, aku pun sama. Belum lagi tanggapan orang tuamu ke aku. Mereka nggak mungkin ngizinin kita. Nggak usah lah pake kalimat penghibur setiap orang punya value, memang punya, tapi jenis value dan total keseluruhan yang dimau ortumu pasti beda. Dan itu nggak ada di aku."
Dia kooperatif sekali, tidak menyela penjelasanku sama sekali.
"Kamu mungkin akan jelek, atau nama keluargamu akan jelek, tapi cuma sebentar. Dengan uang yang kalian punya, kalian bisa memulai hidup dari titik mana pun. Orang kayak aku gimana, Ta?" Aku memberinya senyum lebar. "Kamu bilang hidup nggak adil? Betul, hidup memang nggak pernah adil. Kamu mungkin sakit hati karena satu-satunya sekarang ini yang nggak bisa kamu capai dan miliki adalah cintamu. Tapi aku ... kalau aku nekat, aku akan kehilangan banyak hal, bukan cuma cinta. Tapi keseluruhan hidupku. So please, kalau beneran sayang sama aku, bantuin aku supaya tetap hidup."
"Aku mau bantu, aku akan usaha mati-matian, tapi kita coba pake caraku, please?"
"Cara apa? Kabur ke luar negeri?"
Dia mengacak rambutnya sendiri.
"Kita masih muda, Ta. Kita baru mau 25 tahun. Percaya sama aku, one day, kamu akan ingat momen ini dan pasti ngetawain bareng sama cinta masa depanmu. Tuhan pasti akan kasih cinta lagi, bertahan dikit lagi, ya?"

KAMU SEDANG MEMBACA
beyond words
ChickLit[END] Ekstra Part di Karya Karsa Mungkin ada banyak kata sifat-dalam ribuan bahasa-untuk menjelaskan perasaan atau emosi, tapi terkadang kamu kebingungan, tak menemukan satu kata pun yang bisa mewakili. Atau ... kamu bisa menyebutnya; beyond words...