Judul-judul 21

3.2K 525 35
                                        

Aku merasa benar-benar sedang dipermainkan hidup. Diberi sesuatu yang menyakitkan tentang Atika sekaligus diberi keindahan yaitu momen bersama Datta. Aku bahkan seolah diuji, mana yang paling berat timbangannya yang ada pada diriku, tentu untuk menunjukkan aku termasuk manusia jenis yang mana. Apakah aku akan bersyukur atas apa yang terjadi pada Atika sehingga aku bisa bebas menikmati waktu dan kedekatan dengan Datta? Atau aku terus tenggelam dalam rasa duka dan bersalah perihal Atika dan mengutuk kebaikan bersama Datta ini?

Sejatinya, keduanya sama-sama menjadikanku manusia yang kejam.

Bahkan meski aku berusaha bersyukur atas momen pagi hari ini, ketika mataku terbuka dan menemukan Datta di tertidur pulas di sebelahku, aku juga merasa bersalah. Rasanya seperti ... aku sedang merayakan kepergian Atika. Pantaskah kepergiaan seseorang dirayakan? Bukankah seharusnya kepergian seseorang meninggalkan duka yang mendalam? Tidakkah berdosa dan menjadi nirempati ketika aku bisa menikmati semua ini, melempar tawa dan saling memberi peluk, sementara aku tidak buta, bahwa Atika pergi membawa masalah dan duka pada dirinya?

Aku menutup wajah, berusaha menahan isak yang nyaris keluar. Tidak ingin mengganggu Datta dari tidurnya—sepertinya sudah terlambat. Karena aku melihat matanya bergerak, lalu terbuka dan aku buru-buru mengusap wajah, semoga air mataku tidak ada yang tersisa.

"Hei." Suaranya masih belum sempurna, tetapi ketidaksempurnaannya yang satu ini menggelitik perutku, menyenangkan sampai membuat bibirku membentuk senyum tipis. Alisnya menukik, dia terlihat mulai bingung. "Jam berapa?" Kepalanya menoleh, mencari informasi dengan mandiri, karena aku juga tidak berniat menolongnya. "Damn, masih gelap, Sayang. Kamu kenapa belum tidur, hm?"

"Enggak." Aku membersihkan tenggorokan karena nyatanya suaraku pun sama, terdengar belum sempurna karena tidak bersuara semalaman. Tidur, tentu saja yang aku maksud. "Kebangun, bukan belum tidur."

"What's wrong? Bad dream?"

Aku menggeleng.

Aku tidak bermimpi apa pun, tidak ingat. Jadi, mimpi atau tidak, aku tidak mengingat apa pun ketika tadi membuka mata dengan sendirinya. Bahkan alarm pun belum berdering, itu kenapa mungkin menurut Datta ini masih petang. Karena memang masih gelap. Tapi cahaya kekuningan di ruangan ini masih bisa membuatku melihat wajahnya, ketika tadi posisinya tengkurang dan menghadapku. Sekarang dia sudah memiringkan tubuh, tangannya menarikku mendekat, memelukku erat.

"Better? Deketan gini."

Aku tertawa pelan. "Ini bukan deketan, ini disebutnya nempel. Kamu remed terus ya dulu pelajaran Bahasa Indonesia?"

Suara kekehannya terdengar. "Di matamu aku beneran nggak punya kelebihan, kan?"

"Punya."

"Apa?"

"Berat badanmu lebih dari aku."

"Ooooh is that a mom joke?" Datta terkekeh lagi setelah aku mencubitnya, sekarang melilit kakiku dengan kakinya. "I want this to last forever."

"Kamu mau tidur lagi, ya?"

"Kamu mau bikin aku melek dan nggak tidur? Aku bakal pertimbangin worth it atau nggak buat buang waktu tidurku."

Aku mengembuskan napas. Memahami dengan baik selera humornya yang sangat bagus dan bekerja sangat baik denganku. Namun, kali ini aku sedang tidak ingin saling melempar canda, karena mulutku tiba-tiba sudah berkata pelan, "Aku jahat nggak ya, kalau nikmati hidupku sekarang, khususnya malam ini, padahal aku tau persis penyebab malam ini ada." Aku hanya mendengar napas Datta, belum mendengar balasannya, tetapi aku tetap tahu kalau dia masih hidup. Masih sadar. "Atika pasti makin ngerasa sendirian, nggak didenger karena semua orang jalani hidup kayak biasa, padahal dia udah nggak ada. Oh my God, Datta, I'm so selfish. Aku harusnya—"

beyond wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang