Judul-judul 40

1.5K 323 18
                                    

Aku tidak tahu persisnya berapa lama kakiku berdiri di posisi ini, tetapi yang jelas aku tidak menginginkan kondisi tidak berdaya seperti sekarang. Bukan diam mematung seperti manusia bodoh, aku ingin menggerakkan tubuh, terutama bibirku mengatakan semua kalimat penjelasan untuk Bapak-Ibu.

Semuanya sudah hancur, aku paham, tetapi setidaknya, aku ingin ada satu-dua hal yang tersisa, yaitu harga diri mereka. Mereka harus tetap merasa unggul dengan berpikir apa yang diucapkan Datta tadi tak semuanya benar. Aku tetap pekerjanya, aku tetap asisten Bapak, hubunganku dengan Datta sudah berakhir, aku tahu di mana asalku, dan Bapak harus mengetahui itu.

Bapak tidak boleh merasa dirinya melemah dengan menyaksikan hubungan antara anak kesayangannya bersama pekerjanya.

"Bapak ..." Mulutku akhirnya bisa mengeluarkan suara! Aku senyum di dalam hati, bersyukur. "Saya minta maaf, tapi semuanya sudah berakhir. Yang salah di sini bukan Mas Datta, Pak, Bu. Mas Datta bisa punya hak untuk kejar apa yang dia mau, tetapi yang seharusnya tetap sadar adalah saya. Saya seharusnya nggak menerimanya, nggak membiarkan hubungan kami berjalan lebih dari satu hari. Saya yang punya pilihan untuk nggak melanjutkan, tetapi saya nekat. Saya minta maaf dan saya siap dengan segala konsekuensinya."

"Kami tahu. Bim, kami tahu." Suara lirih itu, suara yang memperlihatkan kerapuhan, kekalahan, yang terdengar sangat menyakitkan. Ibu menjawabku sembari menunduk, memijat keningnya.

Yang Beliau maksud adalah ... mereka tahu hubunganku dan Datta?

"Semuanya kelihatan baik-baik aja, Bim, sebelumnya semuanya baik-baik aja, kan? Kenapa sekarang jadi gini? Kenapa sekarang Datta jadi gini?"

Aku meremas tanganku, menimbang-nimbang haruskah aku bergerak dan duduk di sebelah Ibu atau tetap berdiri di sini dan menyadari posisiku?

Seolah ada keajaiban di ruangan ini, Ibu mengangkat kepalanya dan menatapku, kemudian dengan tatapan penuh kesedihan itu, Beliau menepuk tempat sebelahnya sembari mengangguk-anggukkan kepala. Aku dengan ragu mendekat, melirik Bapak yang tak terlihat ada tanda-tanda akan berbicara padaku, maupun pada Ibu. Bapak tetap diam, menautkan tangan dan menatap ke arah meja di depannya.

Di sebelahku, Ibu menepuk pahaku pelan, kemudian tatapannya diarahkan ke mataku. "Kami tahu, kami tahu hubungan kalian."

"B-Bu, saya—"

"Yang dibilang Datta bener, Mbak Bima. Kalau dulu kami menerima Bunga, kalau dulu kami bisa percaya sama pilihan Datta, mungkin nggak akan jadi serumit ini. Kami gagal jadi orang tua. Kami gagal menyelamatkan anak kami sendiri."

Aku menggelengkan kepala. Tidak setuju dengan kalimat Ibu yang menyalahkan dirinya sendiri dan Bapak. Namun, aku juga bungkam karena tak memiliki kata-kata untuk meyakinkannya. Lagipula, kalimat apa yang bisa menenangkan untuk momen hancur ini? Aku yakin tidak ada selain Datta kembali dan membatalkan semua niatnya.

"Tapi kami coba berubah ..." lirihnya, sekarang Ibu sudah kembali menunduk. "Waktu pertama Bapak tahu hubunganmu dan Datta, Bapak cuma bilang sama Ibu, dia nggak lihat ada hal buruk di antara kalian."

Tuhan ... Bapak tahu, Bapak tahu sejak awal dan Beliau diam, sama sekali tak terlihat seolah dia mengetahuinya. Tak ada sama sekali perbedaan sikapnya padaku. Aku benar-benar merasa malu.

"Selanjutnya kami perhatikan juga Datta banyak berubah. Dia jadi mau pelan-pelan ubah sikapnya ke papanya. Dia mau di rumah. Dia mau ikut ke beberapa acara keluarga. Dia sama sekali nggak keliatan kalau dia masih ada di luka masa lalu itu, Bim. Salah kami, harusnya dari awal kami kasih tahu kamu, supaya kamu aware dan mungkin bisa kasih akhir yang beda. Bukan ini. Bukan kayak gini. Kami pikir dengan lari sejauh mungkin, sama sekali nggak usah ungkit, itu bikin Datta lepas, nyatanya itu cuma akan bikin dia jatuh dan makin terluka."

beyond wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang