Judul-judul 19

3.3K 554 14
                                        

Aku sungguh akan pura-pura lupa ingatan untuk hari ini, terutama malam ini. Karena kalau hanya sekadar menyesal, aku justru akan semakin tersiksa. Jadi setidaknya, menurut logikaku hari ini yang terasa sudah amblas sampai dasar, lebih baik untuk pura-pura tidak ingat. Karena dengan kata pura-pura, artinya aku tetap mengingatnya di dalam hati terdalam.

Karena perasaan ini, perasaan melepaskan diri di hadapan Datta—tidak ada lagi penyangkalan atau perlawanan—terasa sangat benar, terasa tepat. Aku bahkan merasa kesulitan mendeskripsikannya menjadi sebuah kalimat utuh dengan seribu kata sifat keindahan. Mungkin aku hanya bisa memberimu catatan dengan dua kata; beyond words. Bersama Datta dengan penerimaan rasanya sungguh tak tergambarkan. Semoga kamu bisa merangkai kata sendiri untuk memenuhi imajinasi romansamu itu.

Biarkan aku tidak memikirkan banyak hal, hanya menikmati pelukan Datta, elusan tangannya di punggung, kakinya yang melingkar di kakiku, menghirup wangi tubuhnya, menenggelamkan kepala di dadanya, sesekali menarik kepala sedikit hanya untuk mendongak karena aku ingin memandangi wajahnya. Dia selalu bersungguh-sungguh ketika mengatakan 'I can live with that' pada setiap momen yang aku tawarkan—tanpa makanan utama.

"Menurutmu, ini tanda baik atau buruk?"

"Apa?"

"Bapak ngasih aku waktu sebanyak ini."

"Kamu perlu memang perlu itu, Bim."

"Aku tahu, maksudku ... aneh nggak sih, sebaik-baiknya Bapak, dia tuh atasanku, lho, Ta. Aku dibayar buat kerja, bukan buat kasih alasan urusan personal. Kalau ngomongin soal butuh enggaknya, menurutku Bayu jelas lebih butuh, tapi dia masih kerja tau."

"Kerja di mana dia?"

Aku tersenyum tipis. Yang menarik dari semua kalimatku adalah tentang Bayu di telinganya. Jelas bukan tanpa alasan atau karena Bayu kusebut di akhir kalimat, jadi mungkin itu yang dia ingat. Aku memahami lelaki ini sebaik itu, aku sangat percaya diri. "Dia anak creative gitu. Agency?" jawabku tidak yakin. Aku merasa dia menganggukkan kepala. Jariku tiba-tiba tertarik untuk membuat garis ... lingkaran di lengannya, ke punggung, lalu aku kembali memeluknya erat. "Kamu, juga, kan anak agency? Ya nggak, sih?"

Dia tertawa, meski pelan. "Beda dong. Dia kerja buat agency, kalau aku dibalik, agency kerja buat aku." Seketika dia membuatku menarik kepala untuk menatap wajahnya, juga memberikan ekspresi sebal yang aku buat-buat karena kesombongannya.

"Jujur deh tapi, uangmu nggak sebanyak itu, kan, dari kerjaanmu ini? Kamu bahkan nggak keliatan sibuk, kamu pasti ambil pemotretan suka-suka. Aku jadi penasaran, gimana kontrak kerjamu sama agency-mu, Ta."

Ia tergelak, menusuk keningku dengan telunjuknya dan mengatakan, "Betul. Bahkan kayaknya aku jadi orang munafik mungkin. Aku benci apa yang papa kerjain, but I love his money, you know. Semuanya ini ... sedikit banyak, dateng dari Senayan, kan?"

Aku tersenyum tipis, memilih untuk tidak memberikan jawaban untuk pertanyaan simalakama tersebut. Tidak ingin mengambil resiko besar.

Datta terlihat merasa terhibur, dia tertawa lagi, lalu tiba-tiba bertanya, "Dia di agency apa?"

"Siapa?"

"Bayu."

Alright. Setelah ke sana-sini, nyatanya nama Bayu masih yang menjadi top priority dalam obrolan kamu sekarang. "Aku nggak paham. Tapi kelihatannya sih fleksibel banget waktunya. Suka kerja dari mana-mana. Kadang di cafe, tiba-tiba work from Bali, besok udah Lampung, Labuan Bajo. Keliatan seru jadi dia, tapi aku tahu pelangi nggak ada di setiap detik." Melihat dia menahan senyum, aku memicingkan mata. "What?"

beyond wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang