Judul-judul 44

1.4K 318 27
                                    

Di tengah banyaknya makhluk hidup di muka bumi ini, manusia mungkin akan maju sebagai pemenang dari perlombaan keserakahan, kesombongan, keangkuhan, dan hal-hal buruk merugikan lainnya. Dengan prinsip dasar bahwa manusia bertanggung jawab secara individu atas apa yang di pilih dan jalani, lantas dia merasa hidup bebas seorang diri di sini, di bumi ini. Padahal nyatanya, dia memutuskan berteman, menjalin kasih, menikah, memiliki anak. Manusia tak pernah sendirian. Manusia tidak sepenuhnya hanya bertanggung jawab secara individu. Manusia akan selalu terhubung dengan manusia lain dalam banyak jenis benang.

Jadi sudah seharusnya, manusia berhati-hati dalam bertindak, tidak lagi selalu merasa dia bisa bertanggung jawab atas hidupnya.

Anak tak pernah lepas dari bagaimana sosok orang tuanya, masa lalu orang tuanya. Benar bukan tanggung jawab seorang anak atas apa yang dilakukan orang tua, tetapi siapa kita bisa mengontrol bagaimana society bekerja?

Dia anak pelacur.

Dia anak koruptor.

Dia anak presiden.

Dia anak laki-laki pemabuk.

Dia anak dari perempuan egois yang terus bekerja dan dengan percaya diri menyerahkan tanggung jawab pada pengasuh.

Dia anak dari orang tua yang bercerai.

Masalah yang dia hadapi karena orang tuanya.

Kita, sesama manusia, akan selalu terhubung. Dalam masalah atau kebahagiaan. Sekarang lihat bagaimana keluarga Budiawan yang nyaris sempurna di ingatanku, keluarga idaman seluruh anak manusia, khususnya yang sudah tak memiliki orang tua sepertiku, sekarang dunianya berbalik. Mereka berantakan. Rumah mereka utuh, tetapi makna rumahnya yang tak lagi sama. Ibu kehilangan senyuman dan langkah tegas-feminin di setiap pagi, bersiap untuk menjalani jadwal padat memukaunya. Bapak kehilangan senyum ramah-bijaksana bersiap untuk mengabdi pada keperluan rakyat. Zora—yang aku berdoa dia tidak terlibat, meski rasa-rasanya mustahil—tak pernah mengatakan satu kata pun selama di meja makan sebelum memaksa diri untuk pergi menempuh pendidikan.

Semuanya tak lagi sama.

Aku tidak mengerti apakah mereka sudah menemukan dan saling menyetujui solusi untuk masalah ini atau masih jalan di tempat dengan kehancuran masing-masing. Yang pasti, tidak ada sosok laki-laki tengil yang siap menerima omelan adiknya, siap beradu mulut dengan ayahnya, siap diberi nasihat manis dari ibunya. Datta tidak pernah kembali. Meski aku tahu di mana apartemennya, tetapi aku sendiri tidak yakin dia benar-benar masih di sana.

Obrolan terakhirku dengan Bunga pun tak tahu hasilnya bagaimana.

Dengan hancurnya perasaan dan hidupku, aku sungguh-sungguh dengan kata-kataku untuknya saat itu. Kalau dia dan Datta masih bisa bersama dan jika itu satu-satunya solusi untuk ini, aku berharap mereka bisa membicarakannya. Bohong besar kalau aku mengatakan aku bahagia dan ikhlas. Tidak. Aku tidak bisa bahagia begitu saja melihat laki-laki yang aku cintai membangun kehidupan dengan perempuan lain. Melihat bayangan-bayangan masa depan yang kami rencanakan pelan-pelan terwujud olehnya dengan perempuan lain.

Tetapi perasaanku menjadi masalahku sendiri, bukan?

Hancurnya kehidupanku tidak ada keharusan untuk meminta pertanggung-jawaban orang lain, bukan?

"Kamu sudah tahu saya gimana, jahatnya gimana. Saya nggak mau bikin penjelasan apa-apa buat bersihin nama saya di depan kamu, Bim." Bapak, setelah sekian lama diam akhirnya mengajakku berbicara tentang apa yang terjadi. Senyumnya tetap muncul, tetapi aku merasa berbeda. "Saya tahu dedikasi kamu luar biasa, untuk saya dan keluarga saya. Terima kasih banyak. Nggak ada yang bisa bayar itu. Nggak tahu kamu percaya ini atau enggak sekarang, tapi perlakuan saya ke kamu, kasih sayang keluarga saya ke kamu, itu nggak ada hubungannya sama masa lalu kami. Kalau orang kayak kami ini masih bisa sedikit kamu percaya, cukup percaya bagian itu aja. Kami sayang kamu dengan tulus. Saya yakin kamu akan berkembang dan bersinar di mana pun, Bim, kamu berhak dapet kehidupan yang baik, jauh lebih baik, Bim."

beyond wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang