Judul-judul 16

3.3K 603 45
                                        

Jadi ... rasanya seperti ini tidak diacuhkan oleh Datta?

Selama aku mengenalnya, dia selalu menunjukkan rasa peduli yang besar. Dengan segala emosinya; mulai dari emosi untuk menunjukkan ketertarikan maupun rasa kesal dan marahnya—dengan masih tujuan yang sama; menunjukkan perasaannya padaku. Yang tadi aku lihat sungguh sesuatu yang baru. Aku tidak pernah—mungkin pernah, tetapi seingatku jarang sekali memberi afirmasi negatif kepada diriku sendiri—labil untuk hal-hal krusial dalam hidup. Ketika aku mengatakan A, aku benar-benar bermaksud A. Karena aku sudah memikirkannya matang-matang.

Termasuk keputusan untuk menjauh dari Datta, memutus segala bentuk hubungan dengannya dan hanya menyisakan hubungan profesional dengan menghormatinya sebagai anak dari atasanku.

Mungkin ini juga yang akan menjadi salah satu anomali di dalam hidupku; begitu labil. Aku tidak pernah sadar secara gamblang apa saja yang sudah aku perbuat untuk Datta sebelum dia mengeluarkan semuanya, tepat di depan wajahku. Dengan ekspresi marah yang mengerikan. Ternyata tindakan dan kata-kataku tidak pernah sederhana untuknya. Ternyata aku melukainya sebegitu dalam. Ternyata kesombongan dan keangkuhannya di hadapanku tidak selalu satu-satunya fakta, ada perasaan lain di belakangnya, yang mungkin membuatnya menjadi rentan.

Karena perilakuku padanya.

"Kak, maaf, ini ke Hotel Grand Mawar betul?"

Lamunanku buyar, aku mengusap wajah dan menatap ke depan. "Betul, Pak. Oh sudah mau sampai, ya?"

"Iya, di depan." Kira-kira jarak 50 meter, mobil berbelok ke area hotel, dan berhenti di pemberhentian. Sopir taksi ini membantuku menurunkan koper, lalu melakukan pembayaran cash. Sejak bekerja bersama Bapak, aku jadi tahu betapa pentingnya memiliki uang tunai, karena benar-benar tak pernah tahu kapan membutuhkannya. Atasan kita tidak pernah peduli kita lupa menarik uang tunai atau semacamnya. Jadi, kebiasaan itu terbawa sampai pada kebutuhan pribadi. "Sudah semua, ya, Kak?"

"Sudah, Pak, terima kasih banyak, ya."

"Baik, Kak, mari."

Aku tersenyum, mengangguk, lalu menyeret koper menuju resepsionis dan melakukan check-in yang sudah sangat telat sebetulnya. Tidak masalah, semua terjadi karena kesalahanku, jadi aku tidak sepatutnya komplain terlalu banyak. Aku akan introspeksi diri begitu sudah berhasil duduk di kasur empuk kamar pesananku nanti.

"Terima kasih, Mbak," ucapku setelah diberi akses dan arah lift untuk naik ke atas.

Begitu berhasil membuka pintu dan meletakkan koper di sembarang tempat alias aku mendorongnya asal-asalan, aku menjatuhkan tubuh di kasur dan memegang kepala. Mungkin sebaiknya aku membuat teh hangat dulu supaya pening di kepalaku reda, sebelum akhirnya akan pening kembali karena memikirkan masalah hari ini. Alright, setidaknya aku sudah berusaha keras menolong diriku sendiri dengan kembali bangkit, berjalan ke meja yang sudah tersedia teko elektrik. Mengisinya dengan air mineral dari hotel juga, lalu melamun menunggunya mendidih. Setelah segelas teh hangatku jadi, aku membawanya ke balkon dan duduk di salah satu kursi; memang hanya ada dua kursi. Menatap gelapnya pemandangan Jakarta yang diterangi dengan kerlap-kerlip lampu gedung dan kendaraan.

Aku tersenyum ketika tiba-tiba sebuah ingatan blur datang memasuki kepala. Aku pernah punya momen, mungkin beberapa, menjadi satu di antara ratusan kendaraan di jalan padat itu. Dengan tawa lepas, obrolan abstrak yang mungkin tidak teringat detail dialognya tetapi memorinya berkesan, kecupan-kecupan colongan ketika Datta tidak perlu fokus pada jalannya mobil.

Berkendara malam hari selalu menjadi kebahagiaan tersendiri untukku. Baik aku sendiri yang menyetir maupun duduk di princess passenger. Baik naik motor ataupun mobil yang bisa sembari mendengarkan musik.

beyond wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang