Judul-judul 48

2.4K 377 32
                                        

"Why did you you sacrifice your life for me, Bunga?"

Melihat senyum tulus di wajahnya, kelembutan dari mata dan senyum itu, aku merasa seperti menang lotre terbaik di dunia. Benar-benar bersyukur karena Tuhan mempertemukanku dengan Bunga. Mungkin, mungkin saja, kalau orang itu bukan Bunga, mungkin sekarang aku tidak di sini, tidak mengeluarkan kalimat tadi, tidak sedang memujinya sekaligus merasa tak pantas mendapat kebaikannya. Mungkin Datta juga masih tidak bersamaku, dia sedang menebus perbuatannya dengan menjalani kehidupan bersama perempuan itu.

Namun, ini Bunga.

Aku tidak heran kenapa ini Bunga. Kenapa Datta dulu mencintainya. Dia berhak mendapatkan kebaikan yang ada di bumi ini, meskipun Datta menjadi pengecualian. Atau sesimpel, jika dengannya, Datta tidak akan menjadi sebuah kebaikan lagi. Mereka memang tidak tercipta untuk satu sama lain. Tidak ada keindahan atau manfaat untuk bersama. Ya, mungkin memang demikian seharusnya.

"Jadi ... Datta beneran nyamperin kamu?"

Aku mengangguk dengan senyuman yang sama, setulus yang dia berikan.

"Aku sempet sangsi dia beneran mau nyamperin kamu, karena kamu pasti tahu gimana keras kepalanya dia. Ketika dia udah nentuin A, rasanya badai pun nggak bisa ubah pikirannya."

She's right. Biar bagaimana pun, Bunga juga mengenal Datta. Aku tidak merasa buruk sama sekali, kali ini aku justru merasa malah seperti ada seseorang yang memahami sudut pandangku akan Datta.

"Dulu aku juga selalu nyalahin Allah, Bim. Kayaknya Allah memang anak-tiriin aku gitu lho. Hubungan kandas bukan karena orang ketiga atau cinta kami yang udah abis, tapi karena orang tua. Terus gimana jahatnya keluarga Datta ke keluargaku. Beneran nggak mudah buat nerima kalau setiap orang memang punya takdir-takdir yang nggak bisa diubah. Segala sesuatu yang memang bukan buat kita pasti akan nemu celah buat pergi. Nggak peduli sekuat apa pun kita dekap dia. Kisahku dan Datta mungkin memang sampai di sana aja, cuma segitu aja. Papaku mungkin memang udah takdirnya berkorban buat Datta. Meski keliatannya ada kesempatan buat aku bisa sama Datta ..." Bunga tertawa ketika mengatakan kalimat itu, terdiam sesaat sebelum melanjutkan. "... dengan cara agak maksa dan karena tebusan, tapi aku ngerasa justru ini ujian buatku. Apakah aku bisa berpikir jernih, bisa mikirin lebih terbuka dan luas. Lagian, aku udah nggak tahu perasaanku ke Datta itu apa, Bim. Dan kamu tahu, ketika kita bingung sama perasaan kita, itu tanda nggak baik, kan? Jelas bukan sayang dan cinta. Aku mau melanjutkan hidup tanpa perasaan dendam lagi, aku mau ziarah ke makam papa tanpa janji buat balas dendam. Aku mau ziarah dengan perasaan ikhlas, domain papa, kasih tahu papa aku bisa melanjutkan hidup."

"Bunga, kamu tahu kamu berhak dapet kenyamanan dan kebaikan di hidupmu, kan?" Aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak menangis. Mengulurkan tangan dan meraih tangannya di atas meja, aku menggenggamnya sambil terus menatapnya penuh haru. "Aku sama sekali nggak anggep aku lebih baik itu kenapa aku yang akhirnya sama Datta. Aku setuju sama kamu, kalau mungkin kisahmu sama Datta memang sebatas itu, sementara aku dan Datta, mungkin masih lanjut. Aku sendiri nggak berani jamin aku dan Datta memang ditakdirkan satu sama lain, karena terlalu dini buat menilai, kan? Tapi aku makasih banyak banget sama kamu. Atas kebaikan hatimu. Aku berdoa kamu bisa dapetin kebaikan lebih banyak, semoga papamu mendapatkan ketenangan juga di sana."

Dia tersenyum. "Aamiin. Thank you so much, Bima. Jadi, apakah aku nanti bisa dapet undangan pernikahan?"

Aku tertawa. Lalu mengembuskan napas kencang. "Aku nggak tahu. Maksudnya, bukan nggak tahu undang kamu atau enggak, aku pasti akan undang. Masalahnya ...."

"Masalahnya Datta masih belum siap nikah?"

"Kebalik."

Matanya membeliak. "Oh kamu yang belum siap?" Dia tertawa, suasana seketika berubah dari yang sangat serius menjadi cair. Aku suka momen ini. Ternyata, selain baik hati, Bunga juga bisa menjadi teman yang menyenangkan. Alright, aku tahu, aku tidak bisa dengan gegabah menyebutnya teman, karena aku sendiri tidak yakin apakah dia akan nyaman berteman dengan kekasih dari mantannya. Atau Datta akan nyaman melihat kekasihnya berteman dengan mantannya. "Kenapa, Bim? Orang tuanya Datta suka kamu, kan, ya?"

beyond wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang