Judul-judul 38

2.1K 356 13
                                        

Bahkan udara biasa terasa berbeda menyesuaikan apa yang sedang kita rasa, pikir, dan jalani. Sangat menarik bagaimana pikiran kita seolah bisa mengontrol isi jagat raya. Aku menatap pemandangan yang mulai menjadi favoritku dari kamar ini, rumah-rumah tetangga, pepohonan, dan langit. Pagi ini cuacanya sedikit sendu, rintik gerimis yang pelan-pelan membasahi bumi, warna langit yang abu, dan aku tak menemukan awan putih dengan sinar matahari di belakangnya. Tentu saja.

Tuhan tahu apa yang harus Dia lakukan untuk menemaniku dalam suasana ini.

Aku memejamkan mata, menghirup udara sepelan dan sebanyak mungkin, lalu mengembuskannya perlahan. Meski alam terlihat ada di pihakku, bukan berarti dia mengizinkanku untuk berduka, bermalas-malasan dalam waktu lama. Dia tetap berputar seperti biasanya dan aku yang pada akhirnya sebagai manusia yang harus mengikuti geraknya.

Aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap menjalani aktivitas harianku; menemani dan membantu Bapak.

Hari ini Beliau akan bertemu dengan perwakilan aktivis HAM dari daerah pilihannya. Dengan alasan kebebasan dan perasaan aman, perwakilan itu meminta untuk mengobrol dengan suasana santai, yang itu artinya jelas tidak dilaksanakan di dalam area kompleks parlemen.

Setiap mengingat di mana posisi Bapak berada—Komisi III, membuatku merasa begitu miris. Bagaimana bisa seseorang yang hampir separuh dari kesehariannya berada di ruang lingkup HAM dan Keamanan tetapi justru menjadikan nyawa orang lain sebagai tumbal? Bekerja untuk Hak Asasi Manusia di saat yang bersamaan menghancurkan hak asasi satu keluarga. Bekerja untuk bidang keamanan sembari membuat orang lain merasa tak aman akan masa depannya. Bahkan Bapak merusak hidup anaknya. Memberi beban rasa bersalah seolah dia seorang pembunuh seumur hidupnya.

Aku tahu, sudut pandangku terhadap Bapak tak akan sama lagi dan aku sedikit khawatir apakah aku bisa totalitas seperti biasa, mengidolakannya, menganggapnya luar biasa, menyetujuinya dalam segala hal.

Kalau saja ini bukan Bapak, mungkin akan mudah.

Seperti saat kami mendengar kasus Pak Hendrik dengan asisten pribadinya. Hanya sempat membuatku khawatir sesaat, tetapi setelahnya semua seperti biasa. Saat berpapasan dengan Pak Hendrik pun aku merasa biasa saja, hanya sedikit rasa ... geli dan takut dia akan memandangku seperti dia memandang Shella. Tapi Bapak ... yang aku elu-elukan, yang dengan bangga aku anggap seperti papaku sendiri. Kasih sayangnya, pengertiannya, perhatiannya, semuanya terasa seperti rumah.

Sekarang ... aku tidak tahu perasaan mana yang tersisa.

Ditambah aku sudah kehilangan satu-satunya penguatku.

Jadi aku mulai mempertanyakan, apa yang membuatku bertahan bekerja di keluarga ini? Tidak Bapak, tidak juga Datta. Keduanya menyakitiku secara serentak.

"Pagi, Mbak Bima!"

Aku memasang senyum seperti biasa, mengangguk ramah. "Pagi, Bu Ina!" Kemudian membantunya untuk menyiapkan sarapan di meja. Belum ada satu manusia pun yang muncul dari keluarga ini, jadi aku mempunyai waktu untuk berbincang sebentar dengan Bu Ina. Yang rasanya selalu menyenangkan mendengar ceritanya tentang keluarga di kampung, tentang teman dari tetangga rumah, tentang Bapak-Ibu atau Zora yang dia sempat pergoki sedang menemui seseorang di depan pagar dan menerima sesuatu dengan suka cita.

"Pagi!" Sapaan ramah dan bahagia dari Ibu yang mewakili perasaannya pagi ini.

Aku selalu merasa lega setiap pagi mengetahui kondisi hati orang-orang di sini dalam keadaan yang baik. Karena itu artinya, hariku juga akan menjadi mudah, syukur-syukur ikut dalam keadaan baik juga. Tapi sebaliknya, satu saja dari mereka yang sedang bermasalah, kami semua pun akan kena, termasuk Bu Ina.

beyond wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang