Judul-judul 46

2.2K 383 24
                                        

Tahu apa salah satu yang mungkin membuat beberapa perempuan memilih lelaki yang dilabeli masyarakat sebagai 'bad boy'? Salah satunya karena kepekaannya dalam merasakan sesuatu. Oh mungkin kalimatku ini akan diserang karena seolah mewakili beberapa perempuan di luar sana, nyatanya ini hanya diriku sendiri.

Alright, intinya aku sedikit mulai menyesali kalimat-kalimatku tadi di kost, karena sekarang dia benar-benar menyeretku ke supermarket dan memasukkan segala hal—yang aku sendiri tidak yakin aku membutuhkannya, untuk saat-saat ini—ke dalam trolley. Datta tidak banyak berbicara selain, "Jangan keras kepala, kamu kehilangan pemasukan dan akui itu, Bim, nggak bikin kamu langsung jadi babi. Ada aku, biarin aku berguna di hidup kamu."

Pertama-tama, kalimatnya sama sekali tidak bermoral dengan menyebutkan tidak akan beruba menjadi babi. Kenapa harus babi dari semua hal yang ada di muka bumi ini? Aku tahu babi menyenangkan untuk sebagian orang, tapi bagi sebagian orang lainnya, babi digunakan dalam percakapan kemarahan, makian, atau hinaan. Kalau melihat konteks obrolan kami tadi, kalimatnya termasuk ke jenis penjelasan kedua, bukan?

Aku mengembuskan napas kasar, karena melihat Datta sepertinya belum ada tanda-tanda untuk menghentikan dirinya sendiri. Karena ini ide cemerlang miliknya, jadi yang aku lakukan hanya bersedekap sambil berjalan di belakangnya yang mendorong trolley dengan belanjaan yang sudah siap untuk tumpah ke lantai. Apa dia sungguh-sungguh tidak akan berhenti atau paling tidak mengambil trolley kedua?

Oh syukurlah!

Pertanyaanku terjawab ketika dia menoleh, mengangguk. "Ke kasir, yuk!"

Aku mengangguk.

Membiarkan dia menyelesaikan pembayaran seperti yang dia inginkan. Setelah beres dengan supermarket, kami mampir dulu di sebuah restoran di perjalanan pulang ke kost-ku. Aku merasa hari ini benar-benar seperti tunawisma yang ditolong oleh lelaki rupawan dan dermawan. Tidak tahu kalau nanti aku akan bertingkah tidak tahu diri dengan meminta lebih dari dari ini.

Namun, yang pasti aku mengatakan apa yang ada di kepalaku tadi saat kami sudah mendapatkan tempat duduk yang nyaman. "Aku berasa kayak tunawisma yang lagi kamu tolong tahu nggak?"

"I'm happy helping other people."

"Atau justru seneng di atas musibah orang lain?"

Dia mendengus. "Kenapa nggak sesekali lihat sudut pandang yang baik gitu? Kayak ... oh waktuku kerja sama Bapak Hassan udah berakhir, mungkin ini lah saatnya Allah kasih aku kesempatan biar hubunganku sama Datta aman dan lanjut serius." Dia menyadari aku menatapnya geli. "What?"

Aku tertawa dan menggelengkan kepala. "Bapak yang berhentiin aku dan secara nggak langsung suruh aku pergi tahu, Ta."

"Bapakku? Papa maksudmu?"

"Ya Bapak siapa lagi yang aku sembah-sembah kemarin?"

Dia tertawa. "Alhamdulillah. Kamu beneran punya aku sekarang."

"Aku bukan properti ya yang bisa pindah hak milik segampang itu."

"Of course you're worth more than that." Dia senyum sangat ramah dan seksi—tentu saja ini hanya interpresias pada salah satu karyawan restoran yang menghampiri kami untuk pemesanan menu. Datta terlihat kembali menjadi dirinya sendiri perlahan-lahan. "Iya, satu aja nasi goreng kambingnya. Jus jeruk satu sama air mineral dua. Kamu mau makan apa, Bim?"

"Aku ... samain aja, Mbak, yang beda di jusnya. Aku mau jus ini, yang bisa request, nanas mix apel, bisa nggak?"

"Bisa, Kak."

"Oh yaudah itu aja."

"Baik, Kak, saya ulangi sekali lagi, ya?"

Aku dan Datta mengangguk serentak membenarkan konfirmasi ulang pesanan kami. Sampai akhirnya kami memiliki waktu berdua lagi untuk melanjutkan obrolan apa pun tadi yang tertinggal di belakang. Tentu saja bukan aku yang memulai, tetapi dia dengan memasang senyum di wajahnya. "Kenapa?" tanyaku kebingungan.

beyond wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang