Judul-judul 10

3.6K 628 23
                                        

"Lho, Bima hari ini udah mau berangkat kerja?"

Pertemuan dengan Ibu pagi menuju siang ini sama sekali tidak aku prediksi sebelumnya. Alright, mungkin aku terdengar aneh karena bagaimana bisa tidak mengira akan bertemu seseorang, padahal sudah jelas orang yang dimaksud adalah pemilik rumah ini. Biar aku bantu jelaskan sedikit maksudku barusan, yakni, perihal konteks. Selama ini mengenal keluarga ini, ditambah tinggal di sini, aku merasa sudah cukup bisa disebut mengenal mereka, Termasuk dengan aktivitas harian masing-masing, meski dalam gambaran besarnya saja.

Ibu salah satunya.

Jam-jam seperti ini, beliau biasanya tidak di rumah. Meski tak bekerja sesuai hari kerja pada umumnya, tetapi aku tahu Ibu adalah salah satu manusia paling produktif yang aku tahu. Aktivitasnya banyak, mulai dari olahraga, bertemu teman-temannya, arisan di luar, arisan di rumah teman, meeting membahas bisnis keluarga, bahkan pengajian. aku banyak tahu dari Bu Ina karena ... yaaa, hubunganku dengan Bu Ina lumayan bisa disebut akrab.

Jadi, kepergok Ibu di saat aku sudah mau jalan keluar sambil melirik tas yang aku pakai hari ini, rasanya sedikit mendebarkan. Aku berusaha menutupi semua perasaan yang berkecamuk di dada dengan senyuman professional. "Ada panggilan darurat dari teman, Bu. Saya sudah izin Bapak."

"Sendirian?" tanyanya terlihat sungguh khawatir.

Aku terkadang merasa sangat lucu pada keluarga ini. Bukankah di sini posisinya adalah aku yang bekerja untuk mereka? Kalau-kalau mereka lupa apa pekerjaanku, aku tak pernah merasa keberatan setiap diminta mengingatkan. Pekerjaanku adalah membantu kebutuhan mereka, terkadang mulai dari kesehatan hingga keamanan—you know what I mean, right? Jadi rasanya lucu ketika sekarang mereka yang justru ingin memastikan aku baik-baik saja.

Aku merasa bersalah.

"Telepon Pak Damar aja, Bim, minta tolong anterin."

"Saya pesen ojek online kok, Bu. Insha Allah aman."

"Panas banget di luar. Kenapa nggak pesen taksi aja?"

Pengeluaran saya akan meroket, sementara penghasilan saya stabil di situ-situ aja, Bu. Tapi tentu saja jawaban itu tidak akan pernah keluar dari mulutku langsung. Aku tersenyum berusaha menghargai kepeduliannya. "Nanti pulangnya kalau capek banget dan masih panas, saya pesen taksi."

"Padahal Datta tadi barusan keluar banget. Harusnya kamu bilang kalau mau keluar, biar bareng sekalian."

"Iya, soalnya ini dihubunginnya dadakan, Bu. Nggak pa-pa kok. Ibu nggak keluar? Butuh sesuatu dari saya dulu?"

Tawanya mengudara. "Kamu nih, masih sempet-sempetnya mikirin kebutuhan orang." Beliau mengibaskan tangan. "Udah, jangan mikirin kerjaan teruusss, rileks, hempasin pikiran-pikiran dan refleks tentang kerjaan. Nikmati waktu yang dikasih Bapak buat nenangin diri. Bangun cover yang premium juga nggak mudah, kan, Bim?"

Aku memahami kalimatnya dengan baik, termasuk tentang cover yang dia maksud. Jadi aku tidak menyangkalnya, karena nyatanya memang demikian. Ketika siang hari, beraktivitas ini dan itu, aku mungkin bisa terdistraksi dari apa yang terjadi pada Atika. Begitu malam tiba, detik-detik memejamkan mata, semua terputar kembali, hingga suaranya yang mungkin jarang aku dengar langsung. Perasaan bersalah itu, aku tidak tahu sampai kapan akan menghantui kepalaku. Yang aku tahu, aku harus terus berjalan sembari membawa semua ini, di tanganku, di pundakku, di kepalaku, dan di hatiku.

Aku mengangguk pada Ibu, tersenyum tipis.

Ibu mengakhiri percakapan itu dengan kalimat terakhirnya ketika dia sudah jalan, tetapi menoleh kembali, "By the way, Bima, tasmu cantik banget. Pantesan disuruh milih nggak mau, ternyata udah punya yang lucu."

beyond wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang