Judul-judul 25

2.5K 417 35
                                    

Aku belum pernah memandang Datta konyol dengan tampilannya, pakaiannya, apa pun nama yang dia kenakan di seluruh tubuh sempurnanya itu. Namun, kali ini semua terasa berbeda. Bukan hanya tawa yang aku tahan agar tidak mengomentarinya, tetapi aku juga dipenuhi rasa takut.

Takut akan semua kalimatnya malam itu benar-benar dia wujudkan, mengingat aku tak melihat ada aura-aura main-main pada dirinya pagi ini. Datta justru terlihat seperti ... seolah dia bangun pagi hari untuk dedikasi acara ini bersama papanya. Ekspresinya tak murung dan tegang yang biasanya sering muncul ketika bersama Bapak, khususnya ketika ada di pembahasan partai politik dan segala hal yang dilakukan Bapak untuk partai dan pekerjaannya tersebut.

Dia ... tidak sungguhan akan mewujudkan semua ide gilanya itu, kan?

Aku menganggap semua yang dia katakan angin lalu—memang tidak semua, ada beberapa hal yang aku tahu kesungguhannya, tapi jelas bukan soal keinginan dia untuk terjun di politik. Manggala Datta Budiawan dan Dunia Politik adalah sebuah kemustahilan untuk dihubungkan. Aku tidak bisa melihat bahkan meski kesempatan fiksi.

"Mama coba tebak, Papa dan Mas Datta pakai baju kembaran gini mau ke mana?" Bapak yang kira-kira tiga langkah lagi sampai di kursi meja makan, menyadarkan keheningan di sini, membuat Ibu dan Zora menoleh, menatap Beliau dan Datta. Maksudku, Datta sudah duduk di sebelah ibunya. "Keliatan makin mirip, kan, kami?" Pertanyaan tambahan Bapak sembari menepuk pundak Datta, lalu duduk.

"Bentar deh, ini serius kembaran putih-putih? Papa, kan, mau ke Kebayoran, terus Datta mau ..." Mata Ibu melebar. Jadi ... beliau pun bahkan belum tahu?! "Kamu ikut Papa, Mas? Serius?" Kemudian tertawa kencang sebelum akhirnya sadar untuk menutup mulut. Ibu melirik anak perempuannya. "Coba, Dek, nilai Masmu dan Papa mirip beneran nggak?"

"Mirip dong."

"Ganteng, kan?" Datta yang bertanya.

"Ganteng sih lumayan, tapi nggak cocok jadi politik-politikan gitu."

"What does it mean?" Selalu, suasana cepat sekali berubah tegang kalau dua manusia yang memulai obrolan. Padahal, tidak ada teriakan satu sama lain, tetapi Zora memang terlihat senang sekali memancing kesabaran kakaknya yang memang hanya ada sekitar ... satu persen.

"Lihat perut Papa?" Zora tertawa pelan. "Kayak gitu lah harusnya perut Mas kalau mau jadi kayak Papa." Semua orang tertawa lepas, termasuk aku, tetapi aku jelas mengontrol diri. Meskipun sepertinya tetap menarik perhatian Datta karena dia sempat melirikku. "Terus, Mas Datta terlalu galak, to the point, dan idealis. Nggak cocok ya, Pa, yang kayak gitu masuk politik?" tanyanya meminta bantuan Papa.

Aku menatap Zora penuh kagum.

Gadis muda, yang terlihat sangat cuek dengan drama di keluarga, tak terlihat juga begitu bangga pada apa yang dilakukan papa dan Ibunya, tetapi tak terlihat membenci juga seperti apa yang dilakukan Datta. Nyatanya, justru gadis kecil ini juga punya banyak sekali poin-poin hasil observasi yang dia lakukan mandiri.

Keluarga ini terlahir dengan segala kelebihan dan keindahan. Sangat indah dan meski aku bukan siapa-siapa di sini, aku tetap merasa ikut bangga. Padahal, mereka sama sekali tak pernah butuh pengakuanku atas nilai mereka.

"Cocok dong, Sayang." Bapak memberi senyuman terhangat yang memang selalu Beliau miliki. Senyum seorang ayah dan aku beruntung kadang aku mendapatkannya, meski aku tahu dosis yang diberikan untukku pasti berbeda. "Justru anak-anak muda kayak Mas Datta ini yang dibutuhin, semangatnya, idealisnya, kreatifnya." Beliau menatap istrinya sekarang. "Mama beneran nggak bisa ikut?"

"Nggak bisa, nggak bisa dibatalin itu. Lagian nanti Pak Gubernur juga dateng ke sana. Nggak enak seolah malah ngehindarin cuma buat ikut ultahnya partai."

beyond wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang