Apa salah satu hal paling ironis di dunia ini?
Bagiku, ketika kamu harus tetap memastikan kenyamanan dan keberlangsungan hidup orang lain saat hidupmu sendiri sedang terjepit. Aku tidak tahu apa yang paling menggangguku dari pertemuan dengan Bunga. Fakta bahwa orang yang aku anggap nyaris seperti hero tak lebih dari manusia kejam atau kenyataan bahwa Datta memiliki kecenderungan untuk menyukai karyawan papanya—atau anak dari karyawan papanya, you name it—yang memungkinkannya untuk meninggalkanku sebentar lagi.
Aku tahu sejak awal aku tidak berharap banyak dengan hubungan ini. Bahkan ketika aku memilih untuk menjalani dan menikmati waktu yang ada, sekarang bersamanya, aku tak berani meminta lebih. Tetapi diberi kenyataan langsung di depan muka, rasanya terlalu menakutkan, menyakitkan.
"Bim? Kamu yakin?"
"Ya, astaga, maaf, Pak, gimana?"
Aku menggelengkan kepala sembari mengerjapkan mata supaya bisa sadar sepenuhnya. Apa yang tadi aku katakan pada Beliau? Informasi apa yang dikeluarkan mulutku sehingga Bapak terlihat begitu bingung, tak yakin. Aku meletakkan kedua tangan di depan tubuh, masih menunggunya untuk menjawab.
"Kamu lagi ada masalah, ya?"
"Enggak, Pak. Saya baik-baik aja."
Bapak tertawa pelan, lalu menunjuk tabletku yang masih menyala di meja. Aku refleks menunduk untuk meraihnya, membacanya sekali lagi, jadwal Bapak untuk bertemu beberapa tamu hari ini—apa yang salah? Dengan ragu, aku mengangkat pandangan, mencoba mencari tahu tanpa bertanya karena hal ini terlarang, tetapi aku tidak menemukan petunjuk apa pun.
"Kamu bilang tadi ketemu sama perwakilan aliansi anak muda dari Sidoarjo jam empat sore? Bukannya itu besok pagi, ya? Tadi pagi kayaknya kamu bilang gitu, coba lihat sekali lagi di jadwal."
Aku menelan ludah, tetapi berusaha memasang senyum sambil mengangguk. Lalu kembali menatap layar dan memang seharusnya bertemu dengan perwakilan anak muda Sidoarjo itu besok pagi, pukul 10.00 WIB, memangnya tadi apa yang aku sampaikan? Apa yang keluar dari mulutku tanpa aku sadari? Kenapa bisa aku tidak menyadarinya? "Betul, Pak. Ketemu dengan aliansi anak muda Sidoarjo besok pagi. Maaf, Pak, informasinya yang saya sampaikan tadi keliru."
Bapak tidak langsung menjawab, Beliau menatapku cukup lama dengan tatapan yang serius. Aku sungguh nyaris tidak pernah melihatnya marah atau memarahiku, tetapi hari ini aku merasa takut. Entah karena sudah mulai terkontaminasi dengan Bunga yang membuat caraku memandang Bapak berbeda atau memang Beliau kesal hari ini. "Kalau salahnya dalam dokumen dan itu untuk internal, rasanya masih maklum, toh dampaknya yang ngerasain kita. Tapi kalau udah eksternal apalagi berhubungan sama rakyat, kalau bisa memang zero mistake, Bim."
"Baik, Pak. Sekali lagi saya minta maaf."
"Mungkin sepele salah jam meeting. Saya sih gampang masih di area-area sini juga. Tapi kalau kamu salah info ke mereka, mungkin mereka jauh, punya kerjaan penting lain, macem-macem, kan jadi nyusahin mereka."
Aku mengangguk.
"Kamu butuh waktu buat beresin masalah pribadimu dulu?"
"Enggak, Pak. Saya minta maaf, saya baik-baik aja."
Kepalanya mengangguk. "Tolong beli kopi dua, Bim. Yang waktu itu pernah kamu beliin buat saya, enak tuh. Kita butuh caffein."
Kopi yang mana?
Aku sedang melihat—lebih tepatnya membayangkan—diriku sendiri memijat pelipis karena memikirkan pilihan merek dari banyaknya kopi yang aku tahu. Yang itu dan enak. Petunjuknya terlalu general dan aku tidak mungkin meminta Bapak untuk mengingat yang mana. Beliau jelas tidak tahu dan tidak ingat, itu kenapa memintaku mengurusnya. Tapi ingatanku juga tidak secanggih itu untuk mengingat tiap detail dan menghubungkan satu per satu, termasuk kopi yang menurut Bapak enak. Karena seingatku, nyaris semua makanan dan minuman yang aku berikan padanya, komentarnya selalu sama; enak.
KAMU SEDANG MEMBACA
beyond words
ChickLitMungkin ada banyak kata sifat-dalam ribuan bahasa-untuk menjelaskan perasaan atau emosi, tapi terkadang kamu kebingungan, tak menemukan satu kata pun yang bisa mewakili. Atau ... kamu bisa menyebutnya; beyond words. Dua kata itu yang sepertinya pal...