Judul-judul 13

3K 563 36
                                    

"Bapak, saya boleh ngomong sebentar?"

Aku rasa ini momen yang tepat, aku menunggu ini beberapa hari selama masa pemulihan—mereka yang menyebutnya, terutama Bapak, padahal yang aku tahu proses pulih dari setiap luka bukan hanya hitungan hari dalam periode tertentu, melainkan proses yang bisa jadi ... perlu waktu seumur hidup. Aku lebih suka menyebutnya sebagai hari untuk penerimaan atas apa yang terjadi. Untuk itu, satu minggu (kurang lebih) sudah lebih dari cukup. Aku siap menjalani kehidupanku lagi yang penuh dengan tanggung jawab, khususnya pada Bapak.

Setelah Bapak memberi anggukan dengan senyum ramahnya, aku mendekat, saat itu juga Beliau menutup buku yang dibaca dan meletakkannya di atas meja sofa. Sekarang Beliau menatapku serius. "Kenapa, Bim?"

"Besok Bapak mau ke Sidoarjo?"

"Anak-anak bilang ke kamu?"

Aku mengangguk. "Saya yang paksa mereka." Aku tertawa pelan. "Saya nggak bisa buat bener-bener lepas tangan gitu aja, Pak. Saya merasa saya tetap perlu tahu dan terlibat. Selama ini masih jadi tanggung jawab saya."

Kepalanya mengangguk. "Walaupun saya sendiri yang minta kamu untuk istirahat?"

Aku diam.

Beliau kemudian tertawa kecil. "Atau perlu Sekjen yang kasih surat perintah resmi untuk kamu ambil hari libur?"

"Pak, saya—"

"Bima, saya paham kamu orang yang bertanggung jawab. Nggak tahu memang suka dengan pekerjaan ini atau memang kamu berusaha untuk jalani dengan baik. Saya bisa lihat itu dan saya hargai semua yang kamu lakukan dengan sangat sangat baik." Tatapannya serius, membuatku sulit menemukan celah untuk memengaruhinya. "Nggak ada orang se-dedikatif ini ke saya selain kamu, saya harus akui. Jadi kamu harusnya tahu kenapa saya sepeduli ini sama kamu? Saya nggak mau kehilangan kamu sebagai profesional kerja, untuk alasan kemanusiaan, saya juga nggak mau kamu stres luar biasa karena harus memasang wajah profesional. Bantuin kebutuhan saya nggak melulu menyenangkan, kan, ya?"

Aku tertawa pelan. "Bapak bukan orang yang suka menyulitkan orang lain."

"Oh kalau begitu pas dong permintaan saya untuk kamu istirahat?"

Alright.

Lagi, dan lagi. Gen Budiawan ini memang selalu sulit dikendalikan. Apalagi posisiku sebagai pekerja, bukan atasan mereka.

"Pak, sejujurnya, saya jadi tambah stres kalau nggak kerja."

"Lho, iyaa? Kenapa bisa begitu?"

"Saya nggak tahu, tapi rasanya ... justru pikiran saya jadi ke sana terus. Nggak ada distraksi apa pun, jadi bukannya bisa menerima, saya jadi semakin menyalahkan diri sendiri."

"Kalau kamu butuh distraksi untuk sekarang ini, menurut saya distraksinya jangan yang nambah beban dong, Bim. Harus distraksi yang menyenangkan. Kecuali menurut kamu pekerjaan ini adalah hiburan yang sangat menyenangkan. Saya rasa enggak, kan?" Kami sama-sama tertawa, entah jawaban apa yang Beliau inginkan dan yang memang bisa aku berikan. Karena sungguh, aku pun tidak tahu semua yang dia katakan ada fakta atau sebenarnya aku bisa membantahnya. "Kamu ingat nggak selama kerja sama saya, kamu pernah liburan belum?"

Shit, aku tahu aku tidak akan pernah suka ide lanjutan yang akan Bapak sampaikan. Bagaimana bisa lelaki ini menemukan solusi-solusi secepat kilat di kepalanya, yang secara ironi, hanya menyenangkan dirinya, tetapi mungkin juga tak akan pernah bisa aku tolak. Siapa aku berani membantah sekian banyak sementara untuk menemuinya dan memulai obrolan ini saja membutuhkan nyali sebesar dunia?

Aku menggeleng. "Saya nggak ingat persis, Pak, tapi mungkin ... saya pernah izin dua sampai tiga kali?"

"Okay, anggap tiga kali, dari ketiganya itu, ada nggak kamu izin untuk liburan?" Kalaupun ada, mungkin hanya sebatas niat. Karena ... aku belum kehilangan pikiran waras dengan memberanikan diri meminta izin untuk liburan. Lagipula, memangnya— "Karena kalaupun kamu izin liburan, belum tentu saya izinin, kan?" Dia tahu isi pikiranku. Sedikit menegangkan, bukan? "Nah, anggap ini adalah sebuah anomali. Kalau kamu nggak bisa nerima ini bentuk dari sisi humanis saya ke kamu karena minta kamu istirahat, anggap ini sebagai pemberian hak cuti dari saya sebagai bos kamu. Kamu saya izinin liburan, dimulai dari besok. Kamu sendiri yang nentuin butuh berapa hari. Kalau kamu cuma butuh sehari, dua hari, tiga hari, saya janji nggak akan maksa kamu ambil lebih, dan setelahnya kamu boleh langsung kerja lagi. Jadi, sekarang sudah bisa diterima alasannya?"

beyond wordsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang