CH. 49 (END)

5.1K 69 6
                                    

Ketika orang lain menikah di usia 20-an, maka Delisha akan merasakan jadi pengantin baru di usia 36 tahun. Bukan lagi usia yang muda.

Tidak ada acara mewah, tidak ada pesta di gedung seperti menikah impian wanita layaknya seorang Princess. Cukup dia terus bersama pasangannya.

Kerasnya hidup membuat Delisha terus belajar, tak perlu banyak menuntut asal bersyukur dengan apa yang kamu punya sekarang, maka semuanya terasa lebih dari cukup.

Wanita itu mematut dirinya di cermin. Gaun velvet brokat simple warna putih tulang yang Delisha pilih terlihat begitu sederhana. Dia akan menambahkan mahkota kecil di kepalanya.

"Ah, sudah tua." Wanita itu berbicara pada dirinya sendiri dan menggeleng.

Takdir menuntun hidupnya untuk menemukan belahan jiwanya ketika berusia 36 tahun setelah melewati banyak hal bersama.

Tak terasa bulir bening setitik merembes melewati pipi kiri. Tidak ada yang dia punya di dunia kecuali Ayden. Wanita itu teringat Cheryl, andai Cheryl masih hidup, mereka akan berbahagia bersama, atau mungkin Cheryl ikut Maminya menikah bersama laki-laki impiannya.

Wanita itu mengoles lagi bedak tipis untuk meratakan bekas air mata tersebut. Tidak banyak mengundang orang, bahkan Delisha memilih untuk berdandan sendiri.

Hanya mengundang Juna dan istrinya, keluarga Mawar—sahabat Cheryl, Nina, Faaza, dan juga orang tua Ayden. Mungkin tidak sampai sepuluh kepala.

Lagi-lagi air mata Delisha mengalir, betapa hidupnya begitu kesepian, dia tidak punya rekan dan relatif. Bahkan di tempat kerja dia menutup dirinya karena hidup yang keras sejak kecil membuat Delisha tidak percaya pada orang lain. Dia tidak punya keluarga.

Hari ini, hari kebahagiaan, tapi Delisha malah bersedih. Andai Cheryl dan Ayden tidak hadir di hidupnya dia akan terus ditemani kesepian.

Hanya laki-laki itu yang dia punya. Betapa berdosa Delisha menolak ajakan Ayden untuk menikah.

Delisha berbalik melihat calon mertua. Ah wanita ini, mereka sama-sama keras, tapi akhirnya batu yang keras tersebut melunak setelah ditetesi air.

Delisha berbalik dan melihat Ibu Ayden yang memakai brokat putih tulang dengan kepala di sanggul, urat-urat di tangan dan juga keriput di wajah sudah tidak membohongi usia. Dulu, dia hanya dianggap anak kecil yang tidak bisa apa-apa, anak kecil pembawa sial.

"Mama." Bergetar bibir Delisha menyebut kata itu.

Tidak pernah dia memaknai kata mama itu sebenarnya. Mama baginya punah, mama yang dia punya sangat kejam. Mama yang pernah dia panggil menyebut dirinya jalang.

"Lisha! Ah, betapa takdir selucu ini membawa terombang-ambing dan akhirnya bermuara," ungkap Linda.

Delisha tersenyum dan memeluk Ibu Ayden. Dalam dekapan hangat tersebut air matanya tak berhenti mengalir, dia bisa merasakan sosok ibu tersebut. Sudah setua ini terkadang Delisha ingin merasakan sekali saja bagaimana rasanya punya orang tua, punya ibu, punya ayah.

"Maaf, Mama. Aku terlalu terharu."

"Semoga kalian berbahagia. Mama minta maaf apa yang pernah terjadi. Kami hanya ingin kalian belajar soal Cheryl, sungguh Mama bersedih. Kita semua merasakan kehilangan Cheryl, semoga Tuhan menghadirkan Cheryl yang lain."

Delisha melihat air matanya jatuh di pundak Ibu Ayden. Sosok ibu itu dia benar-benar rasakan.

"Nanti kita dimarahi para laki-laki, udah lama, masih nangis-nangis di sini," ujar Linda tertawa tapi juga terharu.

DELISHA (END+LENGKAP) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang