Enam Bulan Kemudian.
Tidak mudah bagi Delisha untuk melewati ini semua. Dia terus saja menangis seperti orang gila, bahkan memilih resign dari pekerjaannya.
Harusnya dia menyibukkan diri dengan bekerja agar tidak mengingat Cheryl terus-terusan, tapi Delisha tahu dia tidak akan bisa bekerja dengan tenang, daripada terus menangis saat bekerja, lebih baik Delisha mengurus anak-anakna, berbagai macam bunga.
Sekarang dia mulai menata diri dan memperhatikan asupan.
Bersama Ayden, Delisha bisa sampai sejauh ini. Jika tidak, mungkin hanya tinggal nama. Cheryl adalah alasan dia bertahan hidup, tapi saat putrinya pergi, Delisha tidak punya alasan lagi.
Delisha menyisir rambutnya yang terus saja rontok, tapi dia sudah menata hidupnya, makan dengan teratur, dan memberi vitamin rambut.
Sekarang jadi pengrajin bunga, Delisha menanam berbagai tanaman di samping rumah.
Sampai detik ini Delisha belum berani untuk mengunjungi makam Cheryl, dia belum ikhlas, walau senang Cheryl selalu hadir dalam mimpinya.
Mengingat mimpi-mimpi itu air mata Delisha turun lagi. Andai Ayden tak ada, dia bisa berakhir di rumah sakit jiwa.
Wanita melirik lewat kaca laki-laki yang baru saja dibicarakan, Delisha tahu terlambat untuk mengatai semuanya, tapi dia mencintai Ayden, puluhan tahun bersama, banyak berbagi suka dan duka, walau lebih banyak duka dan perjuangan yang telah mereka lewati.
"Hi, Cantik," sapa Ayden, Delisha tersenyum.
Usianya sudah expire untuk merasakan apa itu jatuh cinta atau gejolak asmara yang meletup-letup seperti anak remaja.
"Papa." Delisha tidak menggoda laki-laki itu, tapi dia nyaman memanggil Ayden dengan sebutan tersebut. Mungkin menyadari jika mereka sudah tua dan tidak etis hanya memanggil nama.
Ayden mendekati wanita cantik tersebut dan memegang bahu Delisha sambil memijit sedikit, membuat Delisha tersenyum. Dia masih berduka, tapi Delisha ingin terus hidup bersama Ayden.
Ayden mencium pipi Delisha dan diberi senyuman oleh wanita cantik tersebut.
"Dari dulu kamu selalu cantik, Lisha," puji Ayden tulus.
Delisha memeluk pinggang Ayden dan mencium bonggolan keras yang terasa menusuk belakangnya.
"Nakal, ya." Delisha tersenyum lebar. Saat Ayden mencubit pipinya lebar.
"Papa mau kerja?" Ayden mengangguk, Delisha bangun dan memeluk Ayden, hanya ingin memeluk, memeluk laki-laki ini banyak memberi sumber kekuatan untuk dirinya.
Ayden tak lagi tinggal di rumahnya, tapi permanen tinggal di rumah Delisha untuk menemani wanita yang berduka tersebut.
Keduanya tersenyum, saling menatap penuh cinta, Delisha tersenyum lagi dan menenggelamkan kepalanya di dada laki-laki ini, dia menyayangi Ayden, kebersamaan selama puluhan tahun membuat Delisha menyadari jika dia tak bisa apa-apa tanpa Ayden.
"Papa kerja buat modal kawin." Delisha tertawa kecil dan mencubit perut Ayden.
"Kan kita kawin terus," bisik Delisha menggigit telinga Ayden sembari meniupnya.
Laki-laki itu langsung mendesis, sekarang pagi hari dan seriusan Delisha menggodanya seperti ini?
"Bukan gitu cara mainnya, Mami Hot. Tapi aku mau kerja dulu." Ayden mendesah frustrasi.
Delisha tertawa kecil dan memeluk Ayden lagi. Akhirnya keduanya berpisah sebelum Ayden gagal ke kerja dan memilih ena-ena.
Delisha menemani Ayden sarapan. Saat laki-laki itu ke kantor, Delisha akan merawat bunga-bunga, sebenarnya dia kadang merasa bosan, tapi Delisha ingin memisahkan diri. Tidak ingin berbaur dengan siapa pun.

KAMU SEDANG MEMBACA
DELISHA (END+LENGKAP)
Teen Fiction"Lo hamil!" ucap Ayden, kekasih Delisha. "A-apa?" tanya Delisha polos. "Lo hamil!" tegas Ayden lagi. "T-tapi." "Kita sering melakukannya, dan kita main tanpa pengaman." "J-jadi?" "Gue mau putus! Terserah mau diapakan anak itu, umur gue masih 1...