Aku merasa seperti banyak kegelapan menyelimuti hidupku.
Suara-suara asing yang berlari dalam kepala membuatku pusing, aku takut, aku ingin berlari sejauh mungkin dari sini. Aku tak tahu apa yang menimpa hidupku sebenarnya.
Aku bisa menetralkan napas ketika membuka mata dan melihat Ayden berhenti di sebuah rumah besar walau dari luar terlihat menyeramkan. Selama perjalanan aku sudah menduga ada yang tak beres di sini.
"Aku nggak mau turun!" tegasku merajuk.
Bukan merajuk-merajuk manja, tapi aku memang tak mau turun dan masuk dalam rumah sarang hantu tersebut, aku yakin di dalamnya banyak penghuni.
"Ayo, turun! Dua jam kita pergi sejauh ini, jadi jangan buat drama," ucap Ayden jengkel.
Aku hanya menggeleng dan memeluk lutut sendiri. Tak mau turun demi apa pun, aku ingin hidup tenang walau hidupku selalu dipenuhi dengan bencana. Setidaknya aku tidak mengundang bencana yang lain.
"Aku mau pulang!"
"Lisha... gue masih manggil baik-baik, jangan sampai gue main kasar," peringatan Ayden.
Aku hanya memalingkan wajah. Cuaca mendung semakin menambah kesan horor di keadaan sekitar.
"Ayo."
"Aku nggak mau! Please, aku nggak mau! Nggak mau! Aku nggak mau!" Aku masih bersikeras menggeleng.
Ayden langsung berpindah ke bangku belakang dan duduk di sampingku walau aku tak menghiraukan dirinya.
Ia memegang bahuku, aku malas untuk melihat wajahnya. Dulu aku percaya padanya, tapi semua kepercayaanku hancur karena dia telah merenggut habis masa depanku tak bersisa.
Walau aku mengusahakan tetap sekolah dengan status yang tidak seperti anak-anak lainnya, menjadi ibu muda. Terkadang tubuhku masih merinding jika mengingat aku menjadi ibu semuda ini. Jarak usiaku dan anakku hanya 15 tahun, bisa dibilang seperti kakak-adik.
"Lisha, gue tahu lo bodoh! Tapi ini demi kebaikan lo. Lo itu hamil dan jadi seorang ibu nggak mudah. Lo belum pantas jadi ibu, jadi kita gugurkan aja!
Lo bisa sekolah dengan tenang dan melanjutkan cita-cita. Mental lo belum siap punya, kasian anaknya nanti. Lebih baik dia nggak merasakan pahitnya dunia. Lo tahu hidup lo seperti apa, jangan sampai anak lo merasakan hal yang sama!" jelas Ayden panjang lebar.
Anak lo! Memangnya cowok setan ini pikir aku hamil karena balon udara? Dia yang menghamiliku sialan!
Aku hanya menunduk dengan air mata yang terus mengalir, tetap pada pendirian tak ingin mengugurkan anak ini. Walau hidupku kacau, tapi aku ingin mempertahankan anak ini.
Terlalu munafik jika aku menyebut naluri seorang ibu, tapi hatiku bersikeras tidak ingin mengugurkan. Dan aku sudah tahu risiko apa yang akan terjadi jika aku mengugurkan anak ini.
"Lisha...,"
Aku menggeleng dan menangis semakin kuat. Jika Ayden memaksa maka aku juga bisa melakukan hal yang sama. Aku tak ingin mengugurkan kandungan ini walau meyandang predikat ibu termuda.
"Aku mau pulang, aku mau sekolah!" pekikku kuat.
"Lo bodoh, Lisha! Kalau sekolah tahu, lo akan dikeluarkan dan lo nggak punya lagi masa depan. Ini buat kebaikan lo sendiri. Mau, ya." Ayden masih membujuk walau aku tetap pada pendirian.
Aku tetap keras kepala tak mau mengugurkan anak ini.
Aku tak ingin bicara dosa karena bagiku dosa itu hanya ada bagi orang yang percaya pada Tuhan. Lagi-lagi aku mempertanyakan eksistensi Tuhan, jika hidupku terus menderita tak ada habisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
DELISHA (END+LENGKAP)
Teen Fiction"Lo hamil!" ucap Ayden, kekasih Delisha. "A-apa?" tanya Delisha polos. "Lo hamil!" tegas Ayden lagi. "T-tapi." "Kita sering melakukannya, dan kita main tanpa pengaman." "J-jadi?" "Gue mau putus! Terserah mau diapakan anak itu, umur gue masih 1...