"Anak Mami yang cantik, setahun itu rasanya cepat, lambat, menyiksa, kelam, terpendam. Tidak menyangka, kamu pergi untuk selamanya.
Setahun berlalu, tapi Mami tak pernah lihat senyuman kamu kecuali hanya dalam mimpi. Bahkan udah jarang Mami mimpi. Kenapa? Udah nggak rindu Mami lagi? Udah bahagia di sana?" Delisha masih bersungut sambil curhat di kuburan Cheryl.
"Ah, Mami masih belum ikhlas. Tapi... Hari ini dengan segala kelemahan Mami datang untuk pertama kalinya ke sini. Ini bukan hal yang mudah, Nak. Perlahan Mami bisa bangkit. Kamu pergi dan penyesalan terdalam dari kami semua takkan pernah kami lupa sama kami menyusulmu.
Mami tahu, kamu pernah menyebut Mami sebagai Mami yang kejam di muka bumi ini."
Air mata itu tak berhenti mengalir bahkan semakin deras seperti air terjun Niagara. Padahal Delisha sudah berjanji untuk melupakan semuanya, tapi kembali lagi ke kuburan ini sama seperti kembali mengingat memori lama yang tersimpan dan luka itu kembali menguar hingga membuat nanah yang busuk.
"Bahagia di sana, anakku. Mami akan selalu menyayangi Cheryl sampai kapan pun. Sampai bile-bile. Sampai kita berjumpa di ujung dunia sana."
Delisha ingin tumbang lagi, tapi Ayden menahan tubuh wanita itu hingga ia tak jadi jatuh.
Ayden meremas bahu Delisha, menguatkan wanita itu bahwa ia tak sendiri, bukan hanya Delisha yang terluka, tapi ia juga terluka, menyesal, yang teramat dalam.
Sosok ayah itu tidak pantas disematkan untuk dirinya, apa yang harus ia lakukan hanya karena kecelakaan masa remajanya membuat seorang anak tak berdosa harus menanggung semuanya. Tapi, Ayden begitu salut sama Delisha kuat menghadapi cobaan semua ini.
Bahkan Tuhan membiarkan Cheryl hidup sampai 20 tahun dan Tuhan mengambilnya kembali.
Sekarang... hanya tinggal penyesalan. Terkadang Ayden kesal. Kenapa harus ada kata penyesalan dalam hidup? Andai ada peringatan terlebih dahulu agar dia tidak merasakan penyesalan teramat dalam.
"Pulang?" tawar Ayden.
Delisha mengangguk. Membuka lembaran tidaklah buruk, walau tak bisa melupakan Cheryl begitu saja.
Keduanya berjalan keluar tanpa perlu menengok ke belakang. Bukankah Cheryl letaknya di hati mereka?
___________Delisha masih merenung. Apa keputusannya sudah benar? Apa menikah dengan Ayden benar-benar pilihan terbaik? Terkadang dia dilanda keraguan, merasa jadi manusia paling egois dan kejam.
"Mami nggak mau masuk ke dalam?"
Delisha berbalik dan menatap ke sumber suara. Sekarang sudah malam pukul sembilan, tapi Delisha hanya ingin duduk dan merenungi semuanya.
Apa Cheryl bahagia jika pada akhirnya kedua orang tuanya bersatu? Atau malah Cheryl berpikir jika mereka adalah orang tua egois?
Delisha menarik napas panjang, dia rindu Cheryl. Wanita itu merapatkan cardigan yang tak mampu menutupi seluruh tubuhnya. Delisha mendongak ke atas langit yang gelap dengan taburan bintang yang terlihat seperti titik-titik kecil.
"Cheryl." Delisha berbisik, dia rindu Cheryl, andai Cheryl di sini mereka akan terus tertawa bersama, mungkin bisa merayakan barbeque party, Cheryl bahagia ketika akhirnya keluarga kecil yang hanya ada dalam imajinasinya terealisasi.
"Mami." Delisha hanya menutup matanya saat Ayden menyeka air mata itu dengan kedua jempol tangannya.
"Ini menang tak mudah, tapi Cheryl juga akan bersedih melihat kamu terus seperti ini," nasihat Ayden.
Delisha hanya tergugu di tempat.
"Kamu berhak untuk bahagia. Cheryl tentu sudah berbahagia di sana, bukankah kita juga akan segera menyusul Cheryl? Semua hanya tentang waktu, Lisha."

KAMU SEDANG MEMBACA
DELISHA (END+LENGKAP)
Genç Kurgu"Lo hamil!" ucap Ayden, kekasih Delisha. "A-apa?" tanya Delisha polos. "Lo hamil!" tegas Ayden lagi. "T-tapi." "Kita sering melakukannya, dan kita main tanpa pengaman." "J-jadi?" "Gue mau putus! Terserah mau diapakan anak itu, umur gue masih 1...