CH. 22

2.5K 84 3
                                    

Delisha terduduk sambil memeluk lututnya dan melihat ke arah bayi merah yang sedang tertidur. Bagaimanapun akhirnya dia belajar dan menerima jika dirinya sudah menjadi seorang ibu sekarang, bukan lagi remaja normal pada umumnya.

Gadis itu menekan payudara yang terasa berat dan mulai mengeluarkan air susu. Awalnya enggan untuk menyusui, tapi menyadari kewajibannya Delisha akhirnya mau menyusui bayi ini.

Delisha menatap keajaiban itu dan terdiam. Mungkin ia akan diusir dari rumahnya setelah ini tapi Delisha sudah siap dengan segala resiko yang ada.

Delisha hanya diam ketika melihat Ayden masuk ke dalam dan menggosok tubuhnya dengan handuk.

Ibu muda itu merasa mereka benar-benar sudah menjadi suami-istri hanya saja tak ada status di antara keduanya. Delisha kembali menoleh pada bayi merah tersebut dan tanpa sadar tersenyum.

Dia adalah malaikat bagiku. Mungkin kehadirannya tidak aku inginkan di awal tapi akhirnya aku sadar Tuhan menitipkan padaku agar aku bisa menjaganya, sampai Tuhan mengambilnya kembali.

Air mata gadis itu turun dengan sendirinya. Ia terharu, dia bahagia walau banyak musibah datang silih berganti yang seolah tak ada habisnya.

"Masih sakit?" tanya Ayden. Delisha menggeleng. Mereka sudah ke dokter dan menjahit milik Delisha dan membersihkan apa yang tertinggal saat melahirkan.

Delisha memang malu ke dokter tapi ia tak bisa berbuat apa-apa saat merasakan perih luar biasa, lebih baik pergi dan menyelesaikan semua ini.

Sebenarnya masih terasa perih di bawah dan tak bisa bergerak dengan leluasa karena rasa perih itu masih sangat terasa.

Delisha langsung menoleh saat Ayden naik ke atas ranjang, gadis itu terdiam saat Ayden malah mengelus-elus kepala bayi merah itu.

Keduanya berfokus pada bayi merah itu yang membuat Ayden dan Delisha sadar ini adalah anak mereka, darah daging yang tak bisa dipisahkan. Hanya karena kebodohan keduanya akhirnya menghasilkan anak seperti ini.

Delisha masih diam saat Ayden berbalik dan tersenyum padanya.

"Nenek kasih nama Cheryl, ya?"

"Iya."

"Lo suka nama itu?" Pertanyaan Ayden tidak dijawab Delisha. Nama Cheryl bagus karena dia memang tak punya persiapan khusus buat nama anaknya.

"Kalau ngantuk tidur aja ya." Ayden langsung menarik tangan Delisha dan gadis itu ikut berbaring dan Baby Cheryl berada di tengah keduanya.

"Nanti kalau udah paham, pulang ya biar orang tua lo nggak nyari," jelas Ayden.

Membicarakan orang tua, Delisha rasanya mual dan mau muntah karena memikirkan para iblis itu, semoga saat pulang mereka sudah mati duluan.

Kedua remaja itu terdiam membiarkan ruangan itu membisu dan sama-sama menatap ke arah bayi merah tersebut.

Ayden tahu beban yang gadis bodoh ini rasakan. Bagaimanapun dia juga merasakan hal yang sama. Cowok itu membayangkan setelah ini pergaulan mereka tak lagi sama, mereka tak bebas nongkrong seperti remaja pada umumnya. Ayden hanya mengangkat tangannya ke udara.

"Lo pernah berpikir nggak? Setelah ini hidup kita akan berubah. Mungkin kita bisa punya teman, tapi setiap saat pasti teringat kalau ada anak yang nunggu di rumah."

Delisha menunduk dan melihat bayi merah tersebut. Rupanya mengemaskan, tak sia-sia pengorbanannya hingga rasanya mau mati saat melahirkan walau sekarang dia masih merasa kesakitan dan tak bebas bergerak.

"Iya."

"Lisha tetap mau sekolah?"

"Iya," jawab Delisha lemah.

DELISHA (END+LENGKAP) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang