Aku melangkahkan kaki keluar dari pintu dan terduduk di balkon ditemani oleh udara dingin dan juga suara nyamuk.
Hanya tersenyum karena hal remeh seperti bisa melihat bintang bersinar di atas sana. Rasanya ingin menjadi bintang saja, bisa membuat hati yang lain bahagia dan juga bisa menyinari alam, betapa bergunanya Tuhan menciptakan bintang. Tidak denganku.
Aku memeluk lutut sendiri ditemani kesepian seperti biasa. Memangnya apalagi yang diharapkan? Aku hanya memperhatikan para semut di bawah melihat pergerakan mereka sudah membuatku bahagia bukan main. Mungkin karena faktor tak ada kawan dan juga tak tahu bagaimana itu bercanda aku mudah tertawa pada hal receh seperti ini.
Masih memeluk lutut sendiri dan tersenyum. Ya hanya tersenyum. Jika orang rumah mendapati seperti ini, mereka pasti mengira aku sudah gila. Biarlah, toh mungkin jiwaku memang sudah gila sedari awal.
Aku menendang-nendang kecil kakiku dan bertepuk tangan. Mungkin hanya bayangan kawan setiaku saat ini, walau begitu aku senang karena masih ada teman.
Sekarang sekitar pukul 22.26. Sebelum menginjakan kaki keluar 22.11. tebakan receh seperti itu nyatanya membuatku terhibur dan tak merasa kesepian.
Aku sudah makan ketika sore tadi sebelum ada yang menangkap pergerakanku di dapur. Sebelum itu aku membuat susu untuk menghangatkan perut dan juga sebagai penunda lapar hingga besok di sekolah.
Ya, sudah terbiasa hidup susah jadi tak ada yang perlu diratapi di sini. Kehidupan yang keras mengajarkanku untuk tidak cengeng karena terlalu banyak eliminasi bisa membuatku tersingkir hidup di alam ini.
Aku suka mendengar musik dan ingin sekali belajar bermain gitar. Ketika sendirian seperti ini bunyi petikan dari senar gitar berharap bisa mengobati sedikit rasa gundah gulana karena hidup ini.
Biasanya aku akan duduk di luar hingga merasa sudah tak sanggup dan masuk ke dalam kamar, tidur, walau sering tersadar karena rasa cemas yang berlebihan.
"Lisha hanya anak kesepian," gumamku tanpa sadar. Akhirnya kembali menggeleng, kenapa harus mengeluh? Bukankah kesepian sudah menjadi nama tengahku?
Entah kenapa rasanya ingin nekat turun dari balkon dan berjalan di kegelapan malam yang dingin. Aku menimbang semuanya dan sepertinya ini akan menarik.
Akhirnya aku mengambil bed cover milikku yang sedikit panjang dan mengikat di salah satu tiang. Setelah memastikan semuanya aman, aku melihat ke bawah rumput yang lumayan empuk membuatku tidak akan kehabisan darah seandainya kain ini robek. Di depannya tepat berhadapan dengan garasi.
Kutarik sekali lagi kain itu setelah merasa kuat, aku menaiki balkon dan memegang kain tersebut.
Aku memegang tiang balkon dengan erat dan memindahkan tangan ke kain pengikat tadi dan langsung meluncur walau sedikit takut jika kain robek atau tanganku licin dan berakhir tulangku patah.
Kesakitan dan kesepian adalah jiwaku, harusnya aku tak perlu menakuti ini semua.
Walau mendarat dengan tak mulus membuat bokongku mencium lantai dengan begitu keras, tapi aku senang dan sedikit mempunyai teman sekarang.
Akhirnya, aku melangkahkan kaki dengan telanjang dan menginjak rumput yang tajam-tajam menusuk kaki. Aku memeluk diri sendiri, tak ada tujuan. Hanya berkeliling di komplek rumah sambil berjalan tanpa arah.
Masih memeluk diri sendiri sambil memikirkan bagaimana keluargaku tengah berbincang mesra di ruang keluarga dan membiarkan TV menyala. Dengan fokus utama Meisha karena Kak Geisha akan sibuk belajar dengan buku selalu di tangannya.
Meisha akan bermanja di pangkuan Mama sambil membicarakan kegiatannya di sekolah seperti anak yang membanggakan. Padahal, aku tahu betul bagaimana Meisha itu di sekolah. Ah, sudahlah kenapa aku harus mengurus dirinya? Jika diriku begitu menyedihkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DELISHA (END+LENGKAP)
Fiksi Remaja"Lo hamil!" ucap Ayden, kekasih Delisha. "A-apa?" tanya Delisha polos. "Lo hamil!" tegas Ayden lagi. "T-tapi." "Kita sering melakukannya, dan kita main tanpa pengaman." "J-jadi?" "Gue mau putus! Terserah mau diapakan anak itu, umur gue masih 1...