37. Getting Close?

716 39 10
                                    

guys, kalian udah bosan baca dan nunggu cerita ini ya? 🥲 kuperhatikan vote dan komennya tidak seantusias awal2 cerita.
tapi gak papa, aku tetap up cerita ini sampe tamat di sini.

btw kalian udah tau belum aku lagi nyiapin cerita baru? yg follow ig aku pasti tau dong ya.
yes, aku lagi nyiapin cerita tentang anak perempuannya Erick dan Anya.
ceritanya bukan termasuk dark romance tapi rumitnya gak ketolong 🥲 mudah2an endingnya tidak menyedihkan seperti cerita emak-bapaknya wkwkwk.

𖥔 Happy reading 𖥔

••──── ⋆✦⋆ ────••

37. Getting Close?

Zoia tidak bisa menutupi binaran matanya setelah mendengar ucapan Aarash. Untuk pertama kalinya lelaki itu akan mengajaknya keluar rumah setelah sekian lama mereka jalan bersama di tengah kota tujuh tahun lalu.

Ya, di pikiran perempuan itu bahwa Aarash akan mengajaknya ke tempat umum seperti pusat perbelanjaan atau supermarket bertujan membeli belanja bulanan misalnya.

Bolehkah Zoia berharap seperti itu?

Jika perempuan itu sekarang sedang membayangkan kegiatan mereka nanti, maka Aarash sekarang sedang memperhatikan leher Zoia yang masih mengeluarkan darah segar dari luka sayatan.

Lelaki itu melangkah ke arah Zoia kemudian memajukan wajahnya untuk menjilat luka tersebut. Ia mencumbu daerah luka sambil menelan darah segar yang mengalir hingga pendarahannya terhenti.

"A-Apa yang Anda lakukan, Tuan?"

Zoia yang awalnya terkejut seketika mengernyit karena menahan rasa perih di lehernya yang sedang dihisap oleh Aarash darahnya.

Aarash pun menjauhkan kepalanya sehingga wajah mereka saling berhadapan. Zoia bisa melihat mulut lelaki itu tidak bisa diam seperti sedang merasakan sesuatu di mulut. Ya, lelaki itu sedang merasakan rasa darah yang baru ditelannya.

"Untung saja aku menebak yang datang ke dojo adalah kau karena hanya ada kita bertiga di daerah ini. Jika tidak, kepalamu sudah terpisah dari tubuhmu," jelas Aarash sambil mengusap luka sayatan tersebut, dan Zoia percaya.

"Saya tidak menyangka bahwa Anda mahir berpedang."

"Tuntutan, dan kebetulan aku menyukainya."

"Apa Anda pernah memanfaatkan keahlian berpedang Anda?"

"Tentu saja."

"Kapan? Bolehkah saya melihatnya?" tanya Zoia dengan antusias.

"Memangnya kau akan kuat melihatnya?" ejek Aarash yang diakhiri kekehan meremehkan.

"Maksudnya?"

"Pikir saja sendiri." Aarash mengetuk kening Zoia dua kali. "Bukankah kau selalu mendapat ranking lima besar di satu angkatan ketika high school? Gunakan kepintaranmu."

Aarash pun melenggang pergi meninggalkan Zoia yang berusaha menyusul dengan tergopoh-gopoh.

"M-Maksudnya, apakah Anda akan melukai orang ketika menunjukkan keahlian berpedang Anda?" tanya Zoia tepat sasaran namun diabaikan oleh Aarash. Dan Zoia seketika menelan ludah karena menganggap keterdiaman Aarash adalah jawaban 'iya'.

Sungguh, Allen yang dikenal lembut olehnya ternyata bisa melukai orang lain juga. Sejak kapan? Apakah sebelum mereka bertemu, atau sesudah mereka putus?

"Apakah saya tidak bisa melihat aksi Anda ketika latihan saja?"

Zoia menghela napas karena Aarash tak kunjung bersuara.

PrisonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang