25. yang terabaikan

136 4 2
                                    

•••
Bau harum masakan sudah memenuhi dapur, bahkan aroma itu menguar ke seluruh ruangan.
Shafiya membantu Bu Ningsih, seorang Ahli masak di pondok pesantren ini.

Tentu di bantu juga dengan dua orang santri putri.
Ia membersihkan sisik ikan yang tadi sudah di kupas itu. Ia mengumpulkan sisik-sisik ikan itu dalam kantong kresek. Lalu membunganya ke arah tempat sampah.

"Shaf, kamu kok gak ke asramah putri? Tapi sepertinya aku belom bertemu denganmu di asrama. Padahal kan ini sudah hari ketiga kamu disini?" Bingung Putri, salah satu teman seangkatannya itu.

"Emang iya put, Shafiya belom ke asrama putri?" Tanya Safira senior di atas mereka, lebih tepatnya kakak kelas.

"Emmm, gue ke asrama kok. Cuman kan kemarin Lailah pergi, jadi gue agak malam ke kamar. Lagi pula semalam ada beberapa hal yang gue urus." Jawab Shafiya, ia belom berani mengungkapkan kebenaran tentang dirinya.

Karena selain belum ada arahan dari Haidar, ia juga merasa untuk saat ini lebih baik tidak ada yang tahu tentang hubungan dirinya dan Haidar.

Sementara putri, dan Safira itu terdiam ketika mendengar nama Lailah.
"Kalian kenapa?" Tanya Shafiya

"Padahal baru 2 Hari tanpa Ning Lailah, tapi pondok pesantren ini terasa hampa. Serasa ada yang hilang, tapi tak tahu apa. Jadi rindu di tegur Ning Lailah, entah cara berpakaian atau cara bebersih." Ungkap Putri

Kini Giliran Shafiya yang terdiam, ia melihat ke arah putri "Apa keberadaan Lailah sepenting itu?" Tanya Shafiya pelan.

"Sangat Shaf, kamu tahu Ning Lailah itu seperti bulan. Siapapun akan suka kepadanya. Caranya berbicara itu tegas namun suaranya masih lembut.
Caranya berpenampilan begitu baik di pandang, orangnya juga cantik. Tapi lebih dari semua itu, dia adalah perempuan terdidik, ia di juluki Aisya nya Al-Huda. Karena prestasinya yang luar biasa, wawasan nya yang luas, ia juga suka buku. Bukankah gambaran Aisyah istri Rasulullah ada padanya juga, di zaman sekarang adanya perempuan seperti Ning Lailah itu adalah bentuk kesempurnaan."

Shafiya mengalihkan pandanganya ke arah Safira, ia Safira mendeskripsikan dengan jelas seperti apa itu sosok 'Lailah'.

Shafiya menjatuhkan sendoknya, ketika mendengar cerita Safira. Sepanjang kalimatnya, Shafiya menahan gejolak amarahnya.
Entah mengapa hatinya terasa perih, hanya karena satu nama.

"Cukup..." Ucap Shafiya

Pada akhirnya, ia tidak pernah sanggup untuk mendengar lebih tentang sesosok perempuan bernama Laila itu.

Sementara Putri dan Safira kebingungan, namun Shafiya tidak peduli ia segera pergi dari dapur.
Ia mendekat ke arah meja, ia melihat meja itu sudah penuh dengan beberapa menu.
Shafiya mulai menuangkannya air dari teko ke gelas.

"Yo ndk bisa bi, Umi pokoknya Lailah yang jadi mantu umi."

"Umi, cukup ya. Sekarang kita fokus saja sama pondok kita ini."

"Justru itu bi, hanya Lailah yang pantes jadi penerus kita. Abi kan tahu sendiri seberapa uletnya Lailah bi."

Sepanjang perjalan Umi Salamah dan kiyai Salim membicarakan Lailah, mereka belum sadar akan kehadiran Shafiya.

Mereka baru menyadari ketika shafiya dengan sengaja meletakkan gelas dengan bunyi yang cukup terdengar.

Kiyai Salim memilih untuk mengakhiri perbincangan nya dengan sang istri yakni umi Salamah. Sedangkan Umi Salamah memilih abai, ia tetap membicarakan Lailah.

Sementara itu Haidar baru kembali dari Masjid di desa sebelah. Memang sebagian santri akan melaksanakan tugas yakni menjadi imam panggilan. Untuk mengimami shalat, atau sekedar menjadi pembicara dalam acara tertentu. Misalnya orang mah khitbah ( lamaran) dan semacamnya.

Munajat Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang