21. Dua perhiasan Dunia

138 3 0
                                    

•••
Hari sudah mulai gelap, namun Haidar belum bertemu dengan shafiya. Sedangkan shafiya tidak berani bahkan hanya untuk keluar dari kamar Haidar yang dirinya tempati sejak siang tadi.

Langkah kakinya membawanya ke arah jendela yang langsung mengarah ke arah pesantren itu.
dari tempatnya ia melihat aktivitas para santri yang kini mulai menuju ke masjid. Yang pas di tengah-tengah di antara wilayah santri perempuan dan laki-laki.

Masjid itu memiliki tiga arah pintu masuk, dari tembok sebelah kanan akses yang di miliki oleh santriwati

Sedangkan di bagian kiri, akses itu bisa di lewati oleh para santri putra. Sedangkan arah dari arah depan itu masjid milik umum. Yang artinya tidak ada batasan Disana. Mau guru atau pengurus pondok bisa melewati itu tanpa takut berpapasan. Karena masjid di Al-Huda di desain megah.
Bahkan dari luar hal perama yang bisa di lihat adalah masjid itu sendiri. Seolah menjadi lambang Al-Huda.

Mobil putih memasuki area pesantren, bisa shafiya tebak itu adalah mobil kiyai Salim. Yang baru tiba usai dari kunjungan di berbagai tempat.
Tidak bisa ia bayangkan seberapa lelahnya, dan dirinya sekarang sekali lagi menambah beban itu.

Shafiya menutup tirai jendela itu. Ia mulai mendekati pintu. Berdiri dengan ragu ia mulai membuka pintu kamar itu. Lalu mulai melangkahkan kakinya ke arah bawah.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh"

"Walaaikum salam warahmatullahi wabarakatuh, Ki."

"Loh, ada pak Arman rupanya. Sudah lama pak?"

Bincangan demi bincangan semakin jelas Shafiya dengar dari tempatnya sekarang.
Pandangannya mengarah ke bawah sana, kini ia sudah ada di pembatas tangga, ingin sekali dirinya turun namun langka nya kembali urung ketika menyadari kehadiran Umi Salamah dan Juga Lailah yang kini menatapnya.

Tidak ada yang menyadari kehadiran shafiya selain Lailah.

"Abi, lihat ke lakukan putra bungsumu ini."

Seolah Umi Salamah tengah menantikan waktu ini, ia berbicara dengan sedikit nada yang lebih tinggi.
Sedangkan Kiyai Salim tidak mengerti.
"Ada apa, nduk? Umimu kok udah judes begitu cara ngomongnya." Ucap Kiyai Salim ia sedikit terkekeh karena sunggu aneh menurut nya padahal jelas-jelas ada Arman di tengah-tengah mereka.

"Abi, Haidar mau bicara bi. Tapi sebelum itu biarkan Papa Yang bicara.", ucap Haidar melihat ke arah Arman

Sedangkan Salim semakin bingung, kemudian ia melihat ke arah Arman. Seolah bertanya 'ada apa?"
Arman pun mulai mendekati kiyai Salim. Ia mulai berbicara dengan kalimat-kalimat yang semulanya sudah di persipkan.

"Mungkin, terkesan sangat salah untuk kiyai. Namun seperti yang kita tahu bahwa Haidar telah menjadi suami dari putri saya. Yakni Shafiya. Pertemuan mereka begitu singkat, tapi Allah membuat keduanya terikat secara sah di hadapan Allah."

"Shafiya Putri saya mungkin bukan menantu yang di harapkan oleh kiyai, tapi bagaimana mungkin kita selaku orang tua memutuskan hubungan mereka berdua. Ketika anak kiyai, Haidar menantu saya memilih untuk mempertahankan istrinya." Tidak ada yang memotong pembicaraan Arman. Semua sibuk mendengarkan.

"Maka tolong kembalikan saya ke pada ke dua orang tua saya pak kiyai."

Semua mata memandang ke arah Lailah, begitupun dengan Haidar yang kini juga melihat ke arahnya.
Lailah tersenyum untuk sesaat, sebelum air matanya jatuh jua. Sedangkan Umi Salamah memeluk Lailah.

"Abi, tolong berpikir rasional bi. Umi ingin Lailah yang jadi mantu umi. Karena dia yang pantas nantinya untuk mengelola pondok pesantren ini. Lailah shaliha, dia pinter. Hafalan punya, Lailah di banding dengan perempuan itu tidak akan pernah setara. Mereka jauh berbeda, kita orang terpandang Abi. Umi gak mau masa depan Haidar hancur."

Munajat Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang