09. Suratan

214 8 1
                                    

Bukan salah takdir..
Hanya saja cara menjemput takdir-Nya
Berbeda-beda. Ada yang bersifat baik
Ada pula yang bersifat kebalikannya.
Suratan takdir memang tidak bisa di prediksi
Namun apapun yang terjadi itu tak luput
Atas kehendaknya

•••

Shafiya pasrah ketika kain terakhir di tubuhnya sudah lepas, ia pasrah ketika Orang itu mulai meraba setiap inti tubuhnya.

Tapi tidak sedikitpun dengan hati nya.
Ia marah terhadap takdir-Nya.
Rasa sakit di sekujur tubuh nya tidak sebanding dengan hatinya.

Ia sudah hancur. Tidak ada yang tersisah.

"Bagaimana rasanya? Aku akan membuatmu hancur Shafiya. Kau hanya seorang pembunuh. Bahkan sifatmu tidak pernah berubah." Ucap Maulana

Maulana mulai mengecup leher shafiya, sedangkan Shafiya hanya mampu menangis.
Ia melihat Haidar disana tergeletak tak jauh berbeda dari dirinya.
Sama-sama terluka.
Tangan Shafiya melambai ke Ara Haidar.
Sedangkan Haidar melihat itu semua.
Bagaimana abangnya memperlakukan Shafiya dengan bejatnya.

Haidar berjalan dengan tertatih, melepas baju kokohnya. Mulai menerjang abangnya. Memukul abangnya dengan amarah.

"Mulai hari ini kamu bukan lagi Abang saya. Kita tidak memiliki hubungan apapun. Demi Allah saya sangat kecewa." Murka Haidar

Sedangkan Shafiya sudah lemas, sekarang bukan hanya hatinya yang terluka, tapi kehormatannya sebagai perempuan sudah jatuh.

Ia tidak memiliki harapan untuk hidup.
Sedangkan Maulana yang kini mulai sadar atas apa yang ia lakukan. Melihat shafiya yang sudah bertelanjang.

Ia memalingkan wajahnya, kemudian berdiri
Tak memperdulikan Haidar kini sudah menatapnya dengan amarah.

Ia memilih pergi.
Setelah melihat Maulana pergi, Haidar mendekati Shafiya. Namun jawaban tak tertuga dari Shafiya membuat Haidar semakin emosi.

"Pergilah, Lo gak perlu kasihan sama gue. Simpan simpati Lo hanya untuk Lailah calon Lo"

"Maafkan Abang saya, saya berjanji akan mengadukan ini pada Abi saya." Ucap Haidar.

Shafiya tertawan pongah, tapi Haidar tahu. Itu bukan tawa. Melebihi teriakan, mata sayu itu kini sudah bernyawa. Iya mata indah itu kini sudah memancarkan kebencian yang nyata.

Tidak ada suara, haidar kemudian memberikan baju kokonya. Mulai mengancingkan baju itu satu persatu.

Mengambil kerudung yang sudah tergeletak di tanah lalu menyampirkannya di kepala Shafiya.

Shafiya terlalu lemah untuk sekedar berbicara, tangisnya sudah reda. Namun mata bengkaknya menandakan bahwa ia tidak baik-baik saja.

Bibir yang sudutnya sudah terluka. Kaki yang di penuhi sayatan ranting, belum lagi luka tusuk di bagian bahunya. Rambu yang sudah kusut semakin menambah kesan seberapa kacau penampilannya.

"Maafkan saya, saya izin untuk mengangkat mu."

Dapat Haidar rasakan badan shafiya sangat bergetar. Selama di perjalanan Shafiya hanya Diam.

Jalan yang di lalui Haidar, adalah jalan yang berbeda. Ia tidak ingin menimbulkan masalah

"Tunggu di sini, saya akan mengambil mobil." Ucap Haidar lembut.

Munajat Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang