28. Genderang telah di tabu

118 6 0
                                    

•••

"Menangkan hati saya Habibah, itu perintah mutlak dari saya."

Shafiya termenung di kamarnya. Lebih tepatnya kamar di asramanya. Kini malam sudah semakin larut. Namun tidak sedikitpun dirinya mengantuk.
Matanya masih terbuka, ia masih menikmati udara malam yang sebenarnya sedikit menusuk tulang belakang nya itu. Karena sejak Maghrib tadi turun hujan, dan sekarang masih tersah rintiknya saja.

"Apakah pernikahan sebercanda ini? Setelah aku memutuskan untuk berperang dengan mertua, sekarang aku harus berpacu pada waktu. Hanya untuk mengambil hatinya. Hahahaha rasanya sangat lucu. Seorang Shafiya? Perempuan yang tidak pernah memakai hatinya? Seorang yang tumbuh dalam keheningan. Harus berjuang atas nama pernikahan?" Monolog Shafiya sambil terkekeh.

Shafiya melangkah mendekati jendela. Ia melihat ke arah luar. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia mulai menundukkan pandangannya ke arah perutnya yang sekarang tampah perlindungan apa-apa itu. Sehingga jika ia berjalan keluar sana mungkin banyak orang yang akan menyadari tentang kehamilannya.

Shafiya melihat ke arah jendela dimana jendela itu adalah kamar Haidar. Lampu dari jendela itu masih hidup. Yang artinya Haidar belum tertidur juga.

Dapat shafiya lihat Disana ada Haidar yang sekarang terlihat seperti bukan sosok Haidar lagi.
Begipun dengan Haidar ia melihat ke arah Shafiya ia tersenyum sambil menghirup rokok di tangannya itu .

Bahkan kancing atas di bajunya entah lepas kemana. Itu sedikit memperlihatkan dada bidangnya.
Shafiya memandang dalam ke arah Haidar.

"Dia bukan Haidar yang di kenal, dia bukan Haidar nya Al-Huda." Ucap Shafiya lirih

Shafiya memalingkan wajahnya, ia mengusap air matanya. Lalu mulai menutup jendelanya itu.
Tepat disaat ia ingin menutup jendelanya ia melihat ke arah Haidar yang sekarang melambaikan tangan ke arahnya. Shafiya melihat ke arah Haidar, kini dengan pandangannya yang tajam itu. Bisa shafiya lihat di tangan Haidar ada kain yang dirinya tidak tahu apa itu.

Akhirnya Shafiya memilih untuk kembali ke tempat tidurnya. Ia mulai menutup matanya. Hingga alam mimpi membawa nya.

Sedangkan Haidar masih diam di tempatnya. Ia mulai memandangi jendela Shafiya yang kini sudah tidak bercahaya lagi.

"Selamat malam Habibah, saya bukan baik. Seperti yang orang lain lihat. Namun, malam ini kamu adalah orang pertama yang melihat sisi lain saya.", ucap Haidar di heningnya malam.

Haidar mulai menutup jendelanya, ia mulai memasukkan hijab itu ke dalam kardus. Lalu mulai menutup nya. Langkah kakinya membawanya ke arah dimana ia menyimpan benda itu sebelumnya. Setelahnya Haidar mulai duduk, ia terkekeh pelan.

"Jangan pernah kembali, saya akan mencoba untuk melupakanmu. Meskipun hari ini hati saya belum melupakan dirimu. Tetaplah bersembunyi, sampai saya bisa melupakan mu."

Adzan subuh sudah berkumandang, namun pagi hari ini sepertinya sang hujan enggan untuk pergi. Ia masih tetap menumpahkan rintiknya.

Shafiya berjalan dengan pelan, dengan mukenanya. Ia melangkah ke arah masjid. di tengah jalan ia bertemu dengan mertuanya. Yakni kiyai Salim dan Umi Salamah yang sepertinya juga akan melaksanakan solat berjamaah di masjid. Biasanya untuk kiyai Salim jarang ikut sholat berjamaah. Itu karena beliau sibuk dengan dakwahnya ke luar kota. Kadang 3 hari ada di luar pesantren Al-Huda. Para santri putri berbondong-bondong untuk mencium tangan umi Salamah. Sedangkan santri putra juga melakukan hal sama dengan santri putri.

Shafiya menoleh ke kanan dan kirinya ia seperti berada di tengah-tengah barisan. Antara santri putra dan putri. Ia perlahan maju. Shafiya mulai mengangkat tangannya yang ia arahkan ke pada umi Salamah. Namun umi Salamah pergi begitu saja. Hal itu tentu mendatangkan tanda tanya di benak para santri. Shafiya mencoba untuk tersenyum. Ia ingin menarik uluran tangannya, namun tanpa di duga kiyai Salim memegang tangannya.

Munajat Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang