17. Cinta seorang Ayah

167 3 0
                                    

•••
Baju warna putih dengan hijab yang senada telah melekat di tubuh Shafiya. Ia mengambil gardikan warna cream untuk menutupi perutnya yang kian membesar.

Lalu ia mulai mengoleskan pelembab pada mukanya
Serta menaru Beberapa oles lipblam ke bibirnya. Sentuhan terakhir ia menyemprotkan minyak ke bagian tertentu di tubuhnya.

"Sudah Habibah" teriakan dari luar sana membuat Shafiya menyelesaikan kegiatannya.

Hari ini mereka berdua sudah memutuskan untuk memberi tahu papa Shafiya yakni arman. Mereka memulai nya dengan Arman terlebih dahulu. Karena selain dari jarak yang dekat, mereka juga mempertimbangkan matang-matang tentang hubungan mereka. Bagaimana cara memberitahukan kedua orang tua mereka, sudah mereka bincangkan tadi malam.

"Langsung berangkat?" Tanya Haidar ketika Shafiya sudah masuk ke mobilnya.

"Ayo.." ucap Shafiya.

Mobil Haidar melaju dengan tenang, semakin dekat degup jantung keduanya semakin cepat pula berdetak. Bulir keringat sudah membasahi hijab pasmina milik Shafiyah, pun tangannya ia gigit guna mengurangi sedikit kecemasannya.

Sedangkan Haidar sudah tak terhitung bacaan sholawat yang ia lantunkan selama di perjalanan.
Hingga mobil Haidar benar-benar memasuki rumah Arman. Lebih tepatnya sudah berada di teman pintu masuk.

Shafiya menatap Haidar ragu, ia sungguh cemas.
Sedangkan Haidar mencoba untuk menenangkan Shafiya. di eratnya tangan Shafiya dengan lembut.
"Bismillah Habibah, kita banyakin baca ta'auts ya." Ucap Haidar lembut.

Shafiya mengangguk pelan. Mereka lantas
Turun dari mobil. Mereka mendekati pintu masuk.
"Gu...e..., Gue.. ta..kut." cicit Shafiya
Percayalah ketakutannya bertambah dua kali lipat sekarang. Terlebih ketika kakinya sudah melewati pintu itu.

Pulang dari balapan, ataupun club malam tidak membuatnya takut. Namun, untuk kali ini berbeda. Bahkan sangat berbeda.

Haidar menepuk pelan lengan atas Shafiya. Seolah menyiratkan semuanya akan baik-baik saja.

"Assalamualaikum.." Suara Haidar mulai menggema di ruang tengah itu.

"Waalaikumussalam, loh Shafiya nak Haidar."

Bum...

Rasa-rasanya Shafiya sudah tidak sanggup berada di sini sekarang. Bahkan matanya hanya berfokus pada lantai. Dirinya tidak berani melihat papanya saat ini.

"Ada apa nak?" Tanya Arman mendekati Shafiya dan Haidar

"Apa kami boleh duduk om." Tanya Haidar sopan

Ia tidak ingin Shafiya terlalu lama berdiri, itu pasti tidak nyaman untuk kakinya.

"Ayo masuk dulu, ayo.. ayo nak." Ucap Arman bersemangat

"Bi tolong buatkan minum ya." Ucap Arman kepada bi Asih.

Mereka duduk dengan posisi Shafiya yang berada di samping Haidar.
"Loh, Shaf sini gak boleh duduk bersebelahan begitu. Kalian kan bukan mahram." Ucap Arman

Dengan demikian Shafiya mencoba untuk menjauh dari tempat duduk Haidar. Namun tangan Haidar menahannya.

Arman semakin terkejut ketika melihat Haidar memegang tangan putrinya.
"Loh Haidar.." ucap Arman

Sedangkan Haidar mengisyaratkan Arman agar tetap tenang.
Setelah nya mengalir lah cerita mereka.
Lebih tepatnya Haidar yang bercerita sejak tadi, sedangkan Shafiya sekarang sudah menahan air matanya kuat-kuat.

"Ya Allah, ya Robbi. Dosa apa aku ya Allah." Ucap Arman lirih. Ketika mendengar kabar mengejutkan di hadapannya saat ini.

Arman menangis, tapi tangisan itu bukan hanya tangisan kekecewaan tapi juga amarah.
Dengan tak sadar Arman memukul meja di depannya.

Munajat Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang