14. Amarah

192 6 0
                                    

••

Tangis Shafiya sudah mereda. Bahkan hampir tidak tersisa. Sementara itu Haidar masih setia meminjam kan dada bidangnya pada Shafiya.
Melihat nafas Shafiya yang mulai teratur itu, membuat Haidar lega. Setidaknya ia bisa tenang sekarang.

Haidar dengan pelan menaru kepala Shafiya ke bantal. Kemudian membenarkan posisi Shafiya agar nyaman dalam tidurnya.
Kemudian menaikkan selimutnya menutupi perut buncitnya. Tangan Haidar bergerak ingin menyentuh perut buncit itu.

Tangannya bergetar, sekali lagi ia mengulangi gerakan lembut itu. Tak terasa air mata Haidar membasahi pipinya.
"Maafkan kami Shaf, maafkan kakak saya. Saya janji akan mengembalikan masa mudamu. Saya akan berusaha untuk membahagiakan kamu. Bagaimanapun caranya, kamu adalah tanggung jawab saya. Bahkan seumur hidup saya. Kamu akan tetap menjadi tanggung jawab saya. Sebagai istri saya." Monolog Haidar

Sayup-sayup Shafiya mendengar suara lantunan Alquran, ia dengan sedikit terpaksa membuka matanya. Hal pertama yang ia lihat adalah Haidar. Yang melantunkan beberapa ayat suci Alquran itu.
dengan posisi tangan Haidar menyentu permukaan Perutnya itu. Untuk beberapa waktu Shafiya sepertinya lupa cara bernafas yang baik dan benar.
Karena ia dengan reflek menahan nafasnya.

Hingga rasanya ia kehabisan nafas barulah ia dengan kencang menepis tangan Haidar.
Sedangkan Haidar terdiam kaget ketika tangannya di tepis secara tiba-tiba.
Sedangkan Shafiya langsung merapikan rambutnya.

"Loh ngapain sih, awas ya jangan pegang-pegang sembarangan." Ucap Shafiya

Ia memilih melihat ke sembarang arah, kemanapun itu asal tidak melihat Haidar. Jujur dirinya takut Haidar marah, tapi akan lebih merepotkan bila ia terus-menerus memikirkan Haidar. Ia tidak mau menjadi lemah. Itu bukan karakternya, sungguh tiada yang lebih menakutkan dari lemahnya hatinya.

Karena setiap langkah akan terasa sendu, itulah kenapa jatuh cinta itu akan melemahkan seseorang.
Ia tidak mau mengambil resiko itu.

Beralih pada Haidar, ia terdiam masih terdiam. Memperhatikan setiap gerakan Shafiyah yang menurut nya sebagai pengalihan saja.

Haidar berdiri lalu mulai mendekati Shafiya.
Menarik ke dua lengan atas Shafiya, memaksa Shafiya untuk menghadap ke arahnya.

"Saya juga memiliki batas kesabaran Shafiya. Jadi, jangan menguji kesabaran saya. Tindakan mu barusan. Apa salah jika seorang suami melakukan usapan di perut istrinya?" Ucap Haidar dengan sedikit penekanan.

Shafiya memandang jakun Haidar yang naik turun itu, apakah tindakannya barusan membuat Haidar marah. Ia memberanikan diri melihat tepat di mata Haidar.

"Hubungan kita bukan seperti suami istri pada umumnya Haidar. Bagaimana mungkin kamu mengharapkan sesuatu dari pernikahan ini?" Tanya Shafiya sedikit bergetar, karena ia melihat mata tajam itu penuh dengan amarah.

Sedangkan Haidar semakin emosi, tiada hari tanpa amarah sejak dirinya terlibat dengan Shafiya. Hanya Shafiya yang mampu membuat kobaran amarah di hatinya.

Tanpa sepatah kata Haidar memilih pergi.
Sedangkan Shafiya mulai menutup matanya. Tak terasa air matanya mulai menetes lagi.
Ia mengusap air matanya dengan kasar.
"Shaf, jangan lemah. Lo bisa." Monolog Shafiya

Sedangkan Haidar kini berada di taman rumah sakit.
Ia memijit kepalanya singkat. Lalu pandangan lurus kedepan.. memperhatikan beberapa orang yang berlalu lalang itu.

"Saya harus bagaimana Shaf, agar kamu mengerti. Hubungan ini sakral, hubungan kita bukan lagi tentang permainan." Ucap Haidar pelan

Hingga langit malam sudah menampakkan dirinya
Haidar belum kembali ke kamar Shafiyah. Untuk sejenak Shafiya merasa bersalah. Namun apa boleh buat, itu lebih baik menurut nya.

Munajat Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang