23. Kamu masih menjadi yang terbaik

151 6 0
                                    

•••

Semua santriwati berkumpul di depan Pesantren, mereka sama-sama menyaksikan Lailah yang kini sudah duduk di dalam mobil.

Tidak ada kesedihan di wajahnya. Hanya ada senyuman, bahkan beberapa kali ia masih sempat membalas pertanyaan beberapa santri.

Umi Salamah yang paling enggan melepaskan kepergian Lailah. Terbukti dari tadi Umi tidak melepaskan tangan Lailah. Bahkan kini mata Lailah berkaca-kaca.

Shafiya sungguh iri, ia tidak seharusnya ada di sini. Sungguh ironis sekali nasibnya, ia tidak pernah menginginkan pernikahan ini. Tapi Allah menempatkan diri nya dalam posisi ini.
bahkan ia benci harus mengakui bahwa ia memiliki rasa iri sekarang. Bohong apa bila ia mengatakan bahwa ia tidak tertarik dengan posisi lailah di mata semua orang disini, bahkan mungkin di mata mertuanya.

Semua sudah menangis, hanya shafiya yang belum menangis. Entahlah apa boleh dirinya membenci seseorang yang seharusnya lebih pantas marah padanya itu.

"Umi jangan gini, umi yang selalu bilang kepada lailah untuk jadi orang paling ikhlas. Umi yang selalu bilang ke lailah tentang kesabaran. Bahkan umi juga yang mendidik lailah, sehingga sekarang lailah ada posisi ini. Umi lailah gak pergi, lailah masih bisa main ke sini. Lailah kan cuman pulang umi." Suara dengan penuh kelembutan itu membuat semua orang semakin menangis.

Mereka tidak mengerti mengapa Lailah harus pulang malam ini. Bahkan mereka belum sempat bertanya 'ada apa'.

Shafiya melihat ke arah kiyai Salim yang kini sudah menunduk itu seolah menyembunyikan air matanya. Shafiya membalikan badannya. Ia memejamkan matanya, ketika suara mobil itu mulai terdengar. Seiring hilangnya suara mobil itu, Shafiya juga mulai menjauh dari kerumunan.

Malam ini di langit Al-Huda tengah menyaksikan tangisan seorang perempuan dalam diamnya. Bedanya yang satu di lepas dengan kehangatan, yang satunya di sambut dengan keheningan.

"Lailah... Lailah.... Lail.." itu adalah teriakan Umi Salamah yang masih bisa shafiya dengar dari jarak jauh. Shafiya lantas kembali ke kamar Haidar. Ia mulai menutup semua pintu dan jendela. Mulai mematikan lampu di kamar nya.

Ia menjatuhkan dirinya ke arah kasur. Ia mulai menangis di sana. Sedangkan Lailah, ia juga mulai menangis. Bahkan kini isyakannya mulai terdengar sendu. "Hasbullah wanikmal.wakil." lirihnya

Matanya melirik ke spion, mobil Haidar yang kini ikut serta mengantarkan nya pulang.

"Ya Robb ini sungguh sakit." Lirihnya

"Mbk gak papa?" Tanya seorang santriwati yang bertugas menyetir itu.

Lailah menghapus air matanya, ia tersenyum. Lalu mengganguk "gak papa mbk." Ucap Lailah
"Nangis aja mbk, Terkadang nangis bikin beban pikiran jauh lebih ringan. Meskipun gak nyelesain masalahnya."

Lailah terdiam, sudah lama ia tidak menangis. Mungkin ini kali pertamanya ia menangis. Hal yang yang memalukan lagi dirinya menangis karena cinta terhadap makhluk. Sungguh ia malu sekarang.

"Astaghfirullah ya Allah, apa hamba sudah di butakan cinta terhadap ciptaan mu. Sehingga hamba bisa sehancur ini." Gumam Laila Pelan

Mungkin banyak yang bertanya dimana sebenarnya asalnya, Lailah sendiri berasal dari Kediri, dan kini posisinya ada di kota Situbondo. Kini ia akan kembali ke kota kelahirannya itu. Waktu yang mungkin akan ia rindukan adalah ketika ia ada di pesantren Al-Huda.

Selama lima jam perjalanan akhirnya Lailah sudah sampai di depan rumahnya. Lebih tepatnya di pesantren kecil Abinya. Pesantren yang masih asri di karena kan konsep Abinya mengusung tema alam itu. Ia tersenyum ketika melihat beberapa santri sudah menyambut nya.

Munajat Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang