•••
Shafiya terbangun ketika hari sudah gelap, ia memperhatikan sekitarnya. "Apa aku terbaring begitu lama?".Shafiya mengusap rambutnya, kemudian ia panik untuk sesaat. "Siapa yang membuka kerudung gue?"
Ia kemudian memperhatikan sekitar. Lalu ia mulai mengerti sepertinya ia ada di kamar Haidar.Shafiya mulai turun dari ranjang itu, kemudian membuka pintu kamar setelah sebelumnya sudah mengenakan hijab.
Langkah nya tertatih menuruni tangga. Kemudian pandangnya terjatuh pada Lailah yang kini duduk di sofa panjang. Shafiya mendekati Lailah, ia berdiri tepat di hadapan Lailah.
"Maaf.." ucap Shafiya singkat
Sedangkan lailah kini menatap shafiya dengan tatapan kekecewaan. "Hah, kamu meminta maaf untuk apa? Bukankah ini yang kamu inginkan shafiya. Pasti sekarang kamu menertawakan aku." Sarkas Lailah.
Shafiya duduk tepat di samping Lailah.
"Lo, bukan lagi Lailah yang gue kenal." Shafiya tidak menanggapi perkataan Lailah. Kini dirinya malah mengubah topik pembicaraan nya."Lailah yang dulu telah mati, setelah perasaan nya di hancurkan secara paksa."
Shafiya menoleh ke arah Lailah, jelas kalimat yang Lailah lontarkan itu untuknya. Namun Shafiya tidak akan pernah tersentuh oleh kalimat itu.
"Berhentilah berhubungan dengan Umi Salamah, berhentilah juga untuk bermimpi memiliki Gus Haidar. Jadilah Lailah yang Gue kenal, juga Jadilah Lailah yang di banggakan semua mata yang melihat nya. Itu yang gue mau." Shafiya dengan tulus mengatakan itu.
"Karena sekarang Hanya Gue yang berhak atas Gus Haidar. Dia suami gue, dan sebagai istrinya gue akan tetap membersamainya."
Shafiya memperhatikan tangan Lailah yang kini tampaknya sedang meremas roknya itu. Shafiya mengarah kan tangannya ia mengusap lembut tangan Lailah.
"Lo boleh marah, tapi tindakan Lo tadi pagi itu hina banget. Bahkan kalau boleh juju, Lo udah memperlakukan agama Lo sendiri Lailah."
Lailah menepis tangan shafiya kasar. Ia meninggalkan Shafiya disana sendirian. Sementara Shafiya tidak mencegah kepergian Lailah.
Shafiya yang kini sendirian, ia mulai memejamkan matanya ketika rasa sakit di kepalanya kembali mendera. Ia mulai memegang pinggiran kursi hanya untuk menopang tubuhnya agar tidak terjatuh.
Pandangan Shafiya teralih ketika melihat sepasang kaki telah berdiri di depannya.
"Minum ini." Shafiya mendongak ia adalah Haidar.Shafiya menerima dengan tangan yang bergetar.
Kemudian meminumnya tanpa menggunakan air.
Sedangkan Haidar memandang shafiya dengan tatapan yang rumit."Apa akhir-akhir ini kamu merasakan sakit kepala Habibah?" Tanya Haidar
"Iya kenapa?" Tanya Shafiya dengan posisi mata terpejam.
"Jangan melakukan kegiatan yang melelahkan."
Haidar mengusap kepala Shafiya dengan lembut, sedangkan Shafiya menikmati itu.
Haidar masih terdiam memandangi wajah Shafiya.
Lalu ingatannya mulai berputar"Bagaimana keadaannya?" Tanya Haidar ke dokter Annisa
"Dia siapamu. Aku bahkan tidak menyangka akan ada gadis yang bisa menerobos kamarmu ini."
Annisa adalah sepupunya, di antara keturunan keluarga besarnya hanya Annisa yang memilih jalan yang berbeda. Ia memilih menempuh jalan di dunia kesehatan. Zulfa An-nisa Salwa
Putri dari Kiyai Zulfikar dan Nyi Mariyam.Meskipun begitu keluarga Annisa sendiri juga memiliki pesantren, bedanya pesantren milik keluarganya hanya ukuran kecil, bahkan tidak tercantum sebagai lembaga pendidikan. Itu karena jika ada seseorang yang mendafta ke pesantren milik keluarganya tidak mendapatkan ijazah, atau semacam atribut sekolah lainnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Munajat Cinta
Spiritual"apaan si pa, Shafiya kan udah bilang kalau Shafiya gak mau mondok." Shafia terus berteriak ke arah Arman papanya "tapi ini demi kebaikanmu nak, papa gak mau kamu terjerumus terlalu jauh lagi. kamu mabuk-mabukan, balapan sana-sini, bahkan kamu serin...