•••
Para warga sudah berkumpul di masjid itu karena kiyai yang mereka hormati, kini terbaring tidak sadarkan diri, beberapa dari mereka sibuk untuk mencari minyak angin.Sementara yang lainnya sibuk memijit kaki kiyai Salim, Haidar juga ada di tengah-tengah memerintahkan mereka untuk menghidupkan kipas angin di masjid.
"Abi.. bangun bi." Ucap Haidar
Ummi Salamah yang memangku kepala Kiyai Salim sudah menangis dalam diam. Ia bahkan mengusap-usap kepala Kiyai Salim yang sudah dipenuhi rambut putih itu.
Lima menit berlalu akhirnya kiyai Salim bangun dari pingsannya itu. Namun ada dari beberapa warga langsung membahas masalah Haidar dan Shafiya. Tentu saja Haidar sangat marah.
"Apa kalian tidak punya tatakrama Abi saya baru sadar.." ucap Haidar dengan pelan. Namun cukup untuk membuat suasa tegang.
"Cukup nak." Peringat kiyai Salim
"Kita tidak dapat meredam kemarahan masyarakat, karena kita yang salah disini. Kami tidak mengumumkan pernikahan mu. Padahal itu syarat nak, karena dengan pengumuman pernikahan mu tandanya kamu memberitahukan. Bahwa Shafiya milikmu begitupun sebaliknya.." ucap kiyai Salim lirih.
Ia mencoba untuk bangun, lalu mulai memasang kacamatanya. "Baiklah mari kita bicarakan semua ini." Ucap kyai Salim kepada masyarakat. Lalu semua mulai duduk dengan tenang.
Mereka semua merundingkan masalah yang ada. Dan kesepakatan akhir. Mereka membuat Shafiya
Bersumpah atas kebenaran."Tidak bi, Haidar tidak setuju. Shafiya tidak bersalah disini. Biar Haidar saja." Ucap Haidar lantang
Namun jawaban dari kiyai Salim sungguh membuat Haidar kecewa. "Nak ini bukan tentang siapa yang salah dan benar. Tapi ini tentang mengembalikan kepercayaan masyarakat disini." Jawab kiyai Salim.
"Apa begini cara abi, demi mempertahankan nama pesantren Abi rela menyakiti istri Haidar." Marah Haidar. Ia juga menatap ummi Salamah seolah meminta pertolongan. Namun gelengan dari ummi Salamah membuat Haidar semakin marah.
"Baiklah pak kiyai jika pak kiayi setuju mari kita buktikan. Dimana perempuan tadi." Tanya para masyarakat akhirnya mereka memutuskan untuk mencari shafiya.
"Bi, Haidar kecewa." Setelah mengucapkan itu Haidar pergi. Ia harus menemukan shafiya lebih dulu dari mereka. Apapun yang terjadi tidak ada yang bisa melukai shafiya.
"Habibah dimana kamu. Semoga Allah selalu menjaga mu." Gumam Haidar ia terus berjalan untuk menemukan shafiya.
"Bi..." Ummi Salamah mencoba untuk memanggil kiyai Salim.
"Tidak, perlu khawatir menantu kita akan memenangkan nya. Abi yakin itu." Jawab kiyai Salim
Haidar terus mencari Shafiya hingga kerumunan orang-orang di asrama putri membuat Haidar berlari lebih cepat. Haidar begitu panik ketika mendengar teriakan Shafiya. Dengan refleks haidar mengambil handuk entah milik siapa. Ia lalu membasahi handuk itu.
Haidar berlari sambil membawa handuk, ia kemudian menerobos kerumunan orang-orang.
"Buang itu Habibah" ucap Haidar. Dirinya bahkan sudah mengarahkan kain itu ke tangan Shafiya.Bukannya menurut Shafiya malah menggenggam erat besi itu. Membuat Haidar semakin marah. Apa yang di pikirkan istrinya itu. Sungguh membuat Haidar marah, entah harus marah pada siapa.
"Buka sekarang Habibah."
Berkali-kali dirinya membujuk Shafiya, tapi tetap saja. Itu tidak berhasil.
"Mas mohon, buka sekarang." Untuk pertama kalinya Haidar meninggikan suaranya.ia bahkan mencoba membuka tangan Shafiya yang mengepal itu.
"Berapa lama...? Apa untuk apa dia bertanya seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Munajat Cinta
Spiritual"apaan si pa, Shafiya kan udah bilang kalau Shafiya gak mau mondok." Shafia terus berteriak ke arah Arman papanya "tapi ini demi kebaikanmu nak, papa gak mau kamu terjerumus terlalu jauh lagi. kamu mabuk-mabukan, balapan sana-sini, bahkan kamu serin...