22. Dia ( Lailah Pramudya)

148 4 0
                                    

Jatuh cinta sebelum halal
Adalah sebuah prahara yang
Mendatangkan luka

~Lailah Pramudya

•••

Bagaimana rasanya ketika cinta yang kamu pupuk dari lama harus kandas saat ini juga.
Jatuh cinta itu indah, tapi juga menyiksa.
Itulah yang di rasakan Lailah, saat ini di kamarnya ia menangis sudah tidak terhitung waktu yang dirinya habiskan untuk menangis.

Malam ini ia akan meninggalkan tempat yang sudah dirinya anggap rumah keduanya. Masih ingat dulu, ia enggan pergi ke tempat ini. Awalnya ia sangat menolak ide perjodohan ini. Tapi ketika melihat Gus Haidar Hatinya tertaut.

Lima tahun yang lalu....

"Bi, Abi serius mau ngirim lail ke pondok teman Abi itu?"

"Tentu dong, kamu tahu kan kenapa anak para kiyai itu di kirim ke tempat yang jauh. Atau bahkan sekolahnya di sekolahin ke tempat yang lain. Itu karena Abi mau kamu belajar bukan cuman dari Abi atau guru di sini. Ilmu itu luas nduk, kamu harus mencarinya. Abi juga mau kamu mendapat berkah dari ilmu itu sendiri, untuk itu Abi mau kamu meneruskan pembelajaran di pondok tempat temen Abi."

"Baiklah Lail akan kesana Abi."

Lail adalah panggilan Lailah di tempat asalnya.
Mulanya ia di panggul Ning lail, namun nama itu harus hilang dari pendengaran sejak dirinya menginjakkan kakinya di pondok pesantren Al-Huda.

Tahun pertama ada di pesantren Al-Huda membuatnya nyaman. Bukan karena lingkungan saja, tapi di Al-Huda ia juga mendapatkan banyak pengalaman.

Hingga di tahun ke-dua ia di percayai untuk menjadi pengurus pesantren Al-Huda.
"Nak Lailah ini orangnya di splin sekali, teliti, orangnya tekun. Sabaran. Pokoknya semua santri deketnya ya sama Lailah." Kalimat itu adalah pujian pertama yang dirinya terima dari Umi Salamah

"Lailah biasannya saja kok Umi, yang lain ada yang lebih dari Lailah."

"Nduk, gimana kesanmu ada di sini? Suka kan."

"Suka banget Umi, Lailah suka semua tentang pesantren Al-Huda. Lingkungan nya, gurunya, sistem pelajaran nya. Suka semua pokoknya."

"Kalau anak Umi gimana suka gak?

"Hah, gimana um."

Candaan Umi Salamah waktu itu bukan hanya angin lalu, karena setelahnya dirinya mendapat gelar sebagai calon istri seorang Gus.

Tanpa tahu rupa dan suaranya, tanpa tahu sosoknya seperti apa. Hingga di tahun yang sama tepatnya di bulan ramadhan.

Lailah yang mempersiapkan pelajaran nya seperti biasa. Kini ia berangkat lebih awal, karena di bulan puasa kelas sore di majukan.
di tengah perjalanan ia tidak sengaja terjatuh.
Buku dan kitabnya berhamburan kemana-mana.

Lailah pun memungut buku-bukunya hingga di bagian terakhir ada tangan yang menyodorkan kitab ke arahnya.

"Lain kali hati-hati ya, Apa lagi membawa kitab. Jangan sampai jatoh lagi." Suara dengan khas maskulin itu memasuki indra pendengarannya

Munajat Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang