30. Cerita di Bumi Madura

140 8 0
                                    

•••
Haidar kini sudah ada di Pesantren annuqiyah. Ia memarkirkan mobilnya tepat di depan musolla.. pesantren ini terlihat kecil sekali di bandingkan dengan pesantren milik Abinya.

Di pintu masuk hanya ada terdapat 1kantin yang langsung terhubung dengan asrama santri putri
Bahkan musolla nya juga cukup kecil, namun sekolah di annuqiyah ini sangat besar. Karena mereka menyediakan sekolah umum. Yakni yarakat di sekitar sini ada yang hanya menyekolahkan saja, dalam artian tidak di wajibkan untuk menetap di dalam pesantren atau masuk asramah.

Bahkan untuk asrama putra juga kecil hanya terdapat 2 bangunan dengan kamar berhadapan jumlahnya 3 atau bisa di katakan 6 kamar untuk totalnya.

Haidar mulai memasuki pesantren ia di ajak untuk berkeliling dengan beberapa santri putra di sekitarnya sekarang.

"Maklum Gus pesantren kami ini di pelosok, jadi kami belum bisa membangun fasilitas yang memadai. "

"Jangan sungkan begitu baik kecil maupun besar tetap aja pesantren ini tempat yang mulia" jawab Haidar

Ia berkeliling hingga sampai di area sekolah nya
Area sekolah ada di sebelah barat pesantren
Haidar cukup terhibur ketika melihat pemandangan para siswa di depannya.

"Kenapa tidak dibedakan antara siswa laki-laki dan perempuan?" Tanya Haidar

Pasalnya ia melihat siswa dan siswi bebas, Berbaur menjadi satu. Bahkan tak jarang dari mereka yang terlihat bercanda satu sama lain. Meskipun jarak mereka cukup jauh.

"Ah itu Gus, masyarakat disini masih sedikit yang paham akan batasan pergaulan. Kalau Gus perhatikan mereka yang disana bukan santri disini, dalam artian mereka hanya sekolah, lalu pulang. Mereka tidak melewati pembelajaran secara intensif seperti Santri yang sudah masuk asrama atau masuk pondok disini."

Haidar mengangguk saja, karena ia rasa penjelasan dari santri disampingnya ini cukup logis. Meskipun demikian tindakan para siswi yang di lihatnya tadi tidaklah benar.

Malam harinya Pesantren Annuqiyah memulai acaranya. Yakni halfatul imtihan. Haidar duduk di dalam masjid bersama para tokoh-tokoh yang mungkin berpengaruh terhadap perkembangan Pesantren Annuqiyah ini.

Ia kemudian di minta untuk ke panggung, mau tidak mau Haidar mengangguk. Ia kemudian ke atas panggung. Mulai menyampaikan pidatonya.
Semasa Haidar di panggung, ada sepasang mata yang memandangnya dengan tatapan yang tidak biasa. Mata itu memancarkan kesedihan yang mendalam. Bahkan sesekali air matanya menetes.

Setelah Haidar menyelesaikan pidatonya ia tidak langsung pergi, karena kini ia juga akan menyerah kan piala kepada anak-anak yang berprestasi.

"Selanjutnya untuk Ning Lailah Pramudya untuk ke panggung."

Haidar begitu terkejut ketika mendengar nama yang tidaklah asing di pendengaran nya itu.
Netra Haidar mencari keberadaan perempuan yang namanya tengah di sebut itu.

Hingga pandangan nya terkunci pada  sesosok perempuan yang kini sudah melangkah mendekati nya. Begitupun dengan Lailah, ia juga memandang ke arah Haidar.

Pemberian piala itu berjalan dengan lancar. Bahkan keduanya kini menjadi bahan candaan orang-orang. Ada juga yang mulai bertanya kapan mereka berdua akan menikah.

Lailah sendiri kini berdiri dengan canggung, ia bahkan tak berani memandang ke arah Haidar.

Acara terus berlanjut hingga malam semakin larut, Lailah memutuskan untuk kembali pada kamarnya. Yang akan menjadi tempatnya bermalam di pesantren ini.

Namun langkah terhenti ketika Haidar memanggilnya.
"Apa Umi yang menyuruhmu Lailah?"

Lailah menggenggam tangannya erat.

Munajat Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang