35. Pengakuan

185 9 0
                                    

Bagaimana rasanya di paksa untuk berpisah untuk waktu yang lama. Bagaimana rasanya mencintai tanpa menjumpai. Jika Matahari terbenam, bukankah esok harinya ia masih tatap ada. Sinarnya masih bisa menerangi.

Juga, bagaimana rasanya melepas tapi tidak bisa berpamitan. Itu yang di rasakan oleh Shafiya.
Kini dirinya berdiri di depan gundukan tanah.
Seukuran pot bunga, disanalah janin yang belum genap 4 bulan itu harus menghentikan nafasnya.

"Nak, pasti kamu kesepian kan?" Tanya Shafiya dengan gemetar.

"Pasti disana gelap sekali." Shafiya terus berbicara sendiri.

Haidar tak kuasa melihat shafiya dengan ekspresi putus asa itu. Sudah dua hari Shafiya tidak mengeluarkan suara, sekali nya bersuara membuat siapapun yang mendengarnya akan merasakan kesedihan yang mendalam.

Haidar mengusap pundak Shafiya.

"Habibah, sudah satu jam kamu disini. Anak kita pasti sekarang sudah ada di Surga. Anak kita tengah menunggu kita disana. Jadi ....."

"Cukup, gue gak mau ngomong sama lo." Ucap Shafiya ia memandang Haidar dengan rasa benci.

Shafiya kemudian berdiri, ia mulai melangkahkan kakinya menjauhi Haidar. Shafiya terus berjalan hingga ia sampai di depan rumah mertuanya. Ia memandang rumah itu dengan tatapan mencemooh.

Shafiya lantas memasuki kediaman mertuanya itu..yakni kiyai Salim dan ummi Salamah.

"Umi.." Panggil Shafiya, ketika melihat Umi Salamah yang mencoba menghindari dirinya.

Shafiya menahan pintu kamar Ummi Salamah, ia memandang ummi Salamah dengan tatapan kekecewaan.

"Awalnya shafiya menganggap umi adalah sosok ibu yang hangat, penuh cinta dan juga tatapan teduh ummi membuat Shafiya merasakan getaran kasih sayang. Tapi, semuanya berubah."

"Umi bahkan tidak lagi takut untuk menunjukkan rasa benci itu."

"Apa Umi tahu ummi juga seorang pembunuh."

Ummi Salamah kehilangan kekuatan nya ketika kata terakhir yang Shafiya katakan. Ia bahkan tidak lagi peduli pintunya terbuka sepenuhnya.

"Ummi pembunuh, ummi membunuh anak yang Shafiya kandung. Ummi membunuh cucu umi, anak dari Gus Maulana."  Shafiya berteriak, bahkan ia tidak perduli jika suaranya harus terdengar

"Apa Umi pernah bertanya? Shafiya gak mau di posisi ini. Shafiya juga terluka, Shafiya gak pernah berharap akan bersama Gus Haidar. Shafiya bahkan sudah menjauh dari kalian, tapiii...tapi kalian lah yang membawa Shafiya kembali." Shafiya mulai kehilangan suaranya, ia bahkan mulai lemas Sekarang.

Seolah tenaganya hilang begitu saja, bahkan ia duduk bersimpu di depan ummi Salamah yang sejak tadi terdiam.

"Sejak mengenal kalian hidup Shafiya benar-benar hancur."

Ummi Salamah kini duduk dengan kaki yang gemetar. "Anak ummi adalah bencana." Ucap Shafiya lagi.

Shafiya dan ummi Salamah masih terduduk terhalang oleh pintu itu. Shafiya terus memandangi mertuanya itu. Hingga suara dari depan membuat Shafiya mengalihkan pandanganya.

Shafiya kemudian berdiri ia menghampiri suara itu.
Entah bagaimana disana sudah ada Haidar dan kiyai Salim. Mereka seolah meredam kemarahan dari warga.

"Kami mendengar ada santri yang menggugurkan kandungannya. apa benar itu pak kiyai" tanya mereka.

Sedangkan Haidar mencoba untuk menggiring mereka untuk memasuki masjid, karena kerumunan warga membuat fungsi jalan tidak berjalan dengan semestinya.

Munajat Cinta Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang